KABUPATEN SLEMAN GOES TO ADHIPURA
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
dan
Ai Siti Patimah
Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Papua, Manokwari,
Papua Barat
Melayani
masyarakat harus dilakukan dengan hati. Tanpa hati, maka kualitas pelayanan
akan buruk. Pelayan masyarakat akan selalu mengomel, mengeluh, dan merasa diri
tidak berharga. Ujung-ujungnya adalah depresi. Apalagi bila tema pelayanan
tersebut berkaitan dengan sampah, maka kemungkinan terjadinya depresi akan
semakin tinggi. Hal ini karena masyarakat Indonesia belum bisa memandang bahwa
profesi pelayan masyarakat adalah membanggakan. Selanjutnya, sampah juga masih
dipandang rendah oleh masyarakat. Oleh karena itu tidak heran bila muncul
istilah ‘sampah masyarakat’, yang berkaitan dengan perilaku yang dianggap hina
dalam masyarakat. Apakah profesi pelayan masyarakat dalam bidang sampah
termasuk dalam kategori sampah masyarakat? Profesi pelayan masyarakat dalam
bidang masyarakat adalah justru mulia. Mereka adalah pahlawan lingkungan, yang
justru selalu berdiri di depan bila desa tempat tinggal mereka kotor dan tidak
sehat.
Persoalan
pelayanan masyarakat dalam bidang sampah adalah apresiasi dari masyarakat yang
masih rendah. Apresiasi yang rendah ini membuat masyarakat menjadi enggan untuk
berpartisipasi dalam mengolah sampah. Jangankan perilaku 3R (reduce, reuse, recycle) dalam bidang
sampah, sekedar memilah sampah berdasarkan jenisnya saja masyarakat masih
enggan. Masyarakat masih berpandangan bahwa memilah sampah adalah kewajiban
dari petugas pengambil sampah, karena masyarakat merasa sudah membayar uang
kontribusi sampah setiap bulannya. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran
masyarakat masih rendah.
Di negara-negara
maju seperti Jepang, partisipasi masyarakat sangat tinggi dalam sampah. Sampah
rumah tangga sudah dipilah-pilah berdasarkan jenisnya. Bahkan pemilahannya
tidak hanya dalam 2 kategori saja (organik dan non-organik), namun juga dalam
kategori kertas, alumunium, plastik, besi baja, karton, botol plastik, kaca dan
sebagainya. Semua sampah ini juga harus dicuci bersih, dibuka, dikeringkan
kemudian diletakkan pada tempat yang sesuai. Selanjutnya sampah-sampah itu akan
diambil oleh petugas berdasarkan jadwal yang sudah ditentukan. Misalnya, sampah
botol platik diambil hanya hari Rabu saja. Bila pada hari Rabu warga justru
mengumpulkan sampah kertas, maka sampahnya tidak akan diambil oleh petugas.
Rumah menjadi kotor. Itu adalah bentuk ‘hukuman’ dari Pemerintah Daerah
setempat yakni dalam bentuk rasa tidak nyaman.
Bagaimana dengan
situasi di TPS (Tempat Pengolahan Sampah) Randu Alas, Desa Sardonoharjo,
Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta? Masyarakat setempat masih belum bisa
mengapresiasi kiprah Pak Joko Triwaluyo dan teman-temannya. Pak Joko adalah
pimpinan TPS (Tempat Pengolahan Sampah) Randu Alas di Desa Sardonoharjo.
Sementara itu tiga teman Pak Joko adalah Pak Tujono, Pak Heru Sumitro, dan Pak
Waris Sudono. Mereka berempat melayani warga desa dan sekitarnya dalam bidang
sampah dengan senang hati. Tercatat ada 220 pelanggan yang mempercayakan
sampahnya untuk diolah di TPS Randu Alas. Pelayanan mereka tidak hanya sekedar
mengambil sampah, namun juga mengolah sampah organik menjadi kompos. Kompos
kemudian dijual pada masyarakat yang membutuhkannya. Selanjutnya sampah plastik
dipilah berdasarkan jenisnya dan dijual kepada pengepul. Sampah yang tidak bisa
diolah lebih lanjut dikategorikan sebagai residu akan dibuang ke TPA Piyungan
Bantul. Uang dari pelanggan, hasil
penjualan kompos, dan penjualan sampah plastik adalah sumber penghasilan
mereka. Jadi dalam hal ini sampah telah mendatangkan rejeki bagi Pak Joko dan
teman-temannya.
Mengelola sampah
tentu memunculkan pengalaman yang menyenangkan dan menyedihkan. Pak Joko dan 3
temannya agaknya sudah kenyang dengan berbagai suka dan duka mengelola TPS
Randu Alas. Apa saja pengalaman menyenangkan dari Pak Joko dan teman-temannya
dalam mengoperasikan TPS Randu Alas? Mereka senang karena keberadaan TPS
membuat lingkungan sekitar Desa Sardonoharjo menjadi bersih dan tidak ada warga
yang terserang penyakit demam berdarah. Selain itu, hubungan Pak Joko dan
tetangganya menjadi semakin dekat. Tiga orang teman Pak Joko adalah
tetangganya. Mereka berempat mendapatkan keuntungan finansial dari hasil
mengolah sampah. Keuntungan finansial tersebut masih belum memadai bila diukur
dari UMR Sleman. Meskipun demikian, Pak Joko dan teman-teman tetap melayani
pengelolaan sampah warga desa dengan senang hati.
Duka yang
dialami Pak Joko dan teman-teman sangat banyak, namun akarnya adalah dari
persepsi yang keliru tentang sampah. Sampah dianggap sebagai barang buangan
yang menjengkelkan karena bau menyengat, bentuknya buruk, tidak
ada fungsinya, dan tidak menimbulkan nilai-nilai intrinsik (Yoada, Chirawurah
& Adongo, 2014). Berikut berbagai kisah duka dari Pak Joko dan teman-teman
dalam mengoperasikan TPS Randu Alas.
Ø Ada warga yang bersemangat menjadi pelanggan TPS karena
mereka mempunyai anggota keluarga yang sudah uzur. Berdasarkan alasan kesehatan,
warga yang uzur tersebut harus menggunakan popok khusus lansia. Popok tersebut
sulit terurai di alam, sehingga harus diberikan di TPS. Uniknya adalah mereka
berhenti menjadi pelanggan segera setelah anggota keluarganya yang uzur
tersebut meninggal dunia. TPS Randu Alas kehilangan pelanggannya.
Ø Lokasi Desa Sardonoharjo sangat dekat dengan Kampus UII,
sehingga banyak bangunan untuk pondokan atau rumah yang disewakan bagi tempat
tinggal mahasiswa. Tarif pengelolaan sampah untuk rumah biasa dan rumah yang
digunakan pondokan tentu saja berbeda. Tarif untuk rumah biasa lebih murah
daripada rumah pondokan (Rp. 40.000,- / bulan), karena volume sampah yang
dihasilkan juga lebih sedikit. Untuk rumah pondokan, tarifnya adalah Rp.
10.000,- / kamar. Uniknya, pemilik rumah sewa hanya menyiapkan dana pengelolaan
sampah yang setara dengan rumah biasa. Pemilik rumah sewa menganggap bahwa
sampah mahasiswa pondokan bisa digabung dengan sampah rumah tangganya. Ini
adalah strategi yang tidak sehat dari pengelola rumah sewa.
Ø Kebiasaan memilah sampah berdasarkan jenisnya belum dimiliki
para warga. Sampah organik masih dicampur dengan sampah anorganik, termasuk
sampah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya). Akhirnya, Pak Joko dan teman-temannya
harus memilah-milah sampah. Dalam proses pemilahan, mereka bertiga sangat
rentan terkena penyakit. Mereka memang sudah menggunakan masker dan sarung
tangan, namun hal itu tidak cukup. Mereka harus menjalani cek kesehatan secara
rutin untuk mencegah tertular penyakit yang berasal dari sampah. Sayangnya,
biaya cek kesehatan tidak terjangkau.
Ø Sampah-sampah residu di TPS Randu Alas harus diangkut ke TPA
Piyungan. Cara mengangkut adalah dengan mobil truk dari Dinas Lingkungan Hidup
Sleman. Hal itu terlaksana sekitar 3 kali / minggu. Uniknya, Pak Joko dan
teman-temannya masih harus dibebani berbagai biaya untuk melancarkan proses
pengangkutan sampah residu tersebut. Pembayaran resmi itu dilakukan melalui
Bank BPD kepada Dinas Lingkungan Hidup. Kerumitan tentang biaya ini berasal
dari persoalan mendasar yakni tidak jelasnya pihak-pihak yang bertanggung jawab
terhadap sampah. Semoga persoalan ini mendapat perhatian yang memadai dari
Pemda Sleman.
Pak Joko dan
teman-temannya sangat berharap bahwa warga Desa Sardonoharjo dan sekitarnya
memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pengelolaan sampah yang ramah
lingkungan. Paling tidak, warga bersedia memilah sampahnya berdasarkan jenisnya
yakni organik dan non-organik. Cara yang bisa dilakukan adalah melalui pendidikan
pada anak-anak sekolah, yaitu melalui program Sekolah Adiwiyata (Shinta, 2019).
Ada beberapa sekolah di Desa Sardonoharjo. Bila sekolah-sekolah tersebut
mengurus predikat Adiwiyata dan juga TPS Randu Alas menjadi salah satu tujuan dari
anak-anak dalam mengenal sampah, maka harapan itu akan segera terlaksana.
Tulisan ini
adalah materi sosialisasi keberadaan TPS Randu Alas di Desa Sardonoharjo,
Ngaglik, Sleman Yogyakarta. Kesejahteraan para petugasnya akan membuat TPS semakin
optimal dalam melayani kebutuhan warga akan hidup bersih. TPS yang kinerjanya
optimal akan membawa piala Adhipura bagi Kabupaten Sleman. Semoga predikat
Adhipura dapat segera dicapai oleh masyarakat dan pimpinan di Sleman.
Daftar Pustaka:
Penguatan pendidikan pro-lingkungan
hidup di sekolah-sekolah untuk meningkatkan kepedulian generasi muda pada
lingkungan hidup. Yogyakarta: Best Publisher.
Yoada, R.M., Chirawurah, D. & Adongo, P.B. (2014).
Domestic waste disposal practice and erceptions of private sector waste
management in urban Accra. BMC Public
Health. 14:697.
doi:
10.1186/1471-2458-14-697.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji