Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

MENJADI PRIBADI TANGGUH DI TENGAH-TENGAH SITUASI SULIT


PARTISIPASI DOSEN DAN MAHASISWA DALAM
SEMINAR DI LUAR UP45

Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

Menjadi pribadi tangguh di tengah-tengah situasi sulit, adalah suatu tantangan yang sangat berat. Disebut tantangan, karena situasi sulit tersebut disebabkan oleh anak yang mengalami autis. Anak autis sangat sulit diprediksi perilakunya. Mereka mempunyai beberapa hambatan seperti:
Ø  Permasalahan komunikasi, sehingga lebih senang hidup dalam dunianya sendiri.
Ø  Mengalami gangguan kesehatan dan gangguan pencernaan.
Ø  Mengalami gangguan perilaku seperti makan kerikil, makan kotoran manusia, kesulitan tidur, hiperaktif, mengamuk, emlukai, dan mengganggu lingkungan sosial.
Ø  Mengalami gangguan panca idera: kulit sensitif sehingga menolak memakai baju / lebih suka telanjang, telinga sangat peka terhadap bunyi tertentu.
Ø  Memiliki gangguan emosi yaitu moody dan temperamen.
Ø  Ketidakmampuan ketrampilan dasar seperti BAB dan BAK.
Ø  Mempunyai perilaku yang tidak bisa diprediksi seperti mengamuk, membahayakan orang lain, melukai diri, melepas baju atau menghilang.
Ø  Sering menjadi sasaran perundungan dari teman-temannya.


Dalam situasi sulit tersebut di atas, orang yang paling rentan terkena stres yang berkelanjutan adalah ibu. Hal ini karena ibu adalah figur pertama yang paling dekat dengan anak, dibanding bapak. Selain itu, bapak mempunyai respon berbeda bila menghadapi anak autis dibanding ibu. Ibu cenderung berperan menjadi pengasuh utama anak, sedangkan bapak berperan mencukupi kebutuhan anak dan keluarga melalui pekerjaannya. Ibu menjadi figur yang merawat dan mendampingi anak 24 jam setiap hari selama 7 hari dalam seminggu. Kesempatan untuk tidur bagi ibu adalah suatu kemewahan yang luar biasa. Dalam situasi sulit tersebut, mungkin saja bapak melarikan diri dari tanggung jawab keluarga. Dampaknya ibu mengalami dua macam beban yang sangat berat yakni anak yang autis dan menjadi orangtua tunggal.


Beban berat tersebut seolah-olah belum cukup. Ibu masih harus menanggung beban sebagai pihak yang selalu disalah-salahkan oleh lingkungan karena mempunyai anak autis. Tudingan itu misalnya ibu menggunakan pesugihan, ibu berperilaku buruk pada masa lampau, ibu menggunakan obat-obatan terlarang ketika sedang hamil, dan alasan-alasan lainnya. Ibu menjadi figur yang paling berat dan tidak ada dukungan sosial dari lingkungan. Dampaknya ibu rentan mengalami stress berkepanjangan.

Respon terhadap stress ada tiga. Pertama, ibu mengalami kemunduran dan terjebak dalam situasi buruk misalnya depresi. Ibu tidak tahu cara mengatasi beban beratnya. Respon kedua adalah ibu dapat bertahan dalam situasi buruk dan dapat pulih seperti sebelum terjadinya guncangan. Ibu mengalami resiliensi (mampu bertahan). Respon ketiga adalah ibu justru mampu melampaui hambatannya dan mengalami pertumbuhan yang mengagumkan.  Ibu menjadi pribadi unggul. Fenomena dari respon ketiga ini disebut SRG (Stress-Related Growth).

Ini adalah penelitian yang melibatkan 525 ibu yang mempunyai anak autis. Mereka tinggal di Yogyakarta, Klaten, Blitar, Malang dan Denpasar. Metode penelitian adalah mixed yakni kuantitatif dan kualitatif.

Hasil penelitian antara lain sifat ketangguhan ibu berperan penting dalam menurunkan tingkat stress pengasuhan anak autis. Sikap kasih sayang terhadap diri (self-compassion) dapat membantu ibu dalam melakukan coping (usaha mengatasi masalah). Sikap ini akan menghasilkan SRG.

Menjadi pribadi tangguh dalam situasi sulit tersebut, kadang kala membuat seseorang menjadi berbeda dengan lingkungan sosialnya. Hal ini karena  individu terlalu fokus dalam kehidupan keluarganya sehingga ia menjadi jarang bergaul dengan tetangganya. Menjadi tangguh berarti individu sudah menemukan coping behavior bila menghadapi masalah. Bisa saja coping behavior tersebut tidak lazim dilakukan di lingkungan sosialnya. Dampaknya individu menjadi orang yang berbeda, dan sering kali dianggap aneh. Tidak jarang ia kemudian dipencilkan oleh lingkungan sosialnya. Padahal ibu yang sedang menghadapi masalah berat tersebut sangat membutuhkan dukungan sosial.   Dukungan sosial ini secara langsung berhubungan dengan kesehatan fisik. Jadi seseorang yang sedang mengalami stress berat namun mendapatkan dukungan sosial yang kuat dari lingkungan keluarga serta tetangganya, maka individu menjadi jarang sakit dan kekebalan tubuhnya justru meningkat.

Adapun resep untuk menjadi pribadi tangguh dalam situasi yang sulit antara lain mempunyai komitmen, kendali dan tantangan. Komitmen yakni berani bertahan, terjun langsung dalam masalah. Contoh perilaku adalah tegar dan pantang menyerah meski tidak selalu berhasil. Kendali yakni adanya keyakinan bahwa diri adalah kunci jalan keluar. Individu percaya bahwa semua usaha akan berbuah baik. Contoh perilaku adalah mandiri, kreatif, ulet, praktif, teguh, tidak terpengaruh penghakiman orang lain. Tantangan yakni individu siap dengan perubahan, berani keluar dari zona nyaman, memandang tantangan secara positif, siap dengan sesuatu yang tidak terprediksikan. Dasar dari ketangguhan pribadi adalah adanya penerimaan diri (self-acceptance).

Tulisan ini adalah laporan partisipasi dosen dan mahasiswa Psikologi UP45 dalam Seminar Sanata Dharma Berbagi. Partisipasi ini penting untuk memperluas wacana berpikir dan memperluas pergaulan baik pada dosen maupun mahasiswa Psikologi UP45. Selanjutnya topik seminar adalah “Masyarakat yang peka: Sebuah tinjauan psikologis”. Seminar diadakan pada 22 November 2019 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Adapun pembicara seminar ada dua yakni:
1)    Dr. Maria Laksmi Anantasari, M.Si. Judul penelitian disertasinya adalah: Perempuan yang bertumbuh dalam tekanan: Kisah asuh para ibu”.
2)    Dr. Y. Heri Widodo, M.Psi., Psi. Judul penelitian disertanya adalah: “Relasi interpersonal dalam masyarakat yang semakin non-komunal”.





Post a Comment

0 Comments