HARUSKAH
MAHASISWA SELALU TUNDUK PADA DOSEN BERDASARKAN ALASAN TAKUT TIDAK LULUS?
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas
Proklamasi 45
Yogyakarta
Sumber: Istimewa |
Pernah dengar cerita tentang seorang anak yang kebingungan
memilih antara permen curian yang lezat dengan kemungkinan ia tertangkap basah
oleh pemilik toko yang terkenal kejam? Pasti para pembaca belum pernah mendengarnya,
karena cerita itu memang karangan saya saja. Begini ceritanya. Ada seorang anak
yang tidak mempunyai uang namun ia sangat ingin makan permen. Satu-satunya toko
permen di kotanya menyediakan berbagai macam permen lezat. Sayangnya, pemilik
toko itu terkenal kejam dan sering memelototi anak-anak yang berkunjung ke
tokonya. Situasi itu tidak menyurutkan niat anak tersebut. Buktinya, ia dengan
teliti mempelajari situasi-situasi kosong di toko tersebut. Situasi kosong
tersebut biasanya terjadi pada saat pergantian pelayan toko pada sore hari.
Pada suatu sore hari, anak tersebut dengan mudah menyelundup masuk
ke toko dan menemukan sebotol penuh permen lezat kesukaannya. Botol permen
tersebut mempunyai leher yang sempit namun perutnya besar, sehingga persediaan
permennya banyak namun sulit mengambilnya. Anak kecil itu kemudian memasukkan
tangannya yang mungil ke botol tersebut dengan mudah dan menggaruk permen. Ketika
ia akan mengeluarkan tangan dengan segenggam permen, mendadak ia mendengar
langkah kaki pemilik toko yang sangat dikenalnya. Ia menjadi bimbang, haruskah
ia melepaskan permen dalam genggamannya dan kemudian melarikan diri? Atau
sebaiknya ia bersembunyi di sudut toko dan berharap pemilik toko tidak
mellihatnya? Kalau ia melepaskan permen dan melarikan diri mumpung pemilik toko
belum melihatnya, maka ia akan selamat. Konsekuensinya, ia kehilangan
kesempatan mencicipi permen lezat. Bila ia tetap bertahan di toko dan
bersembunyi, maka pemilik toko mungkin saja akan mengetahuinya dan akan
mencambuknya tanpa kenal ampun. Sebuah pilihan yang sulit bagi anak tersebut. Mungkin
pembaca ingin meneruskan akhir cerita? Sangat banyak alternatif bagi ending cerita.
Apa hubungan antara cerita anak yang sedang bingung tersebut
dengan mahasiswa? Kesamaan antara anak dan mahasiswa adalah sama-sama bingung
mengambil keputusan, terutama ketika berhadapan dengan penguasa. Penguasa pada
cerita di atas adalah pemilik toko, sedangkan penguasa pada kehidupan mahasiswa
adalah dosen yang manipulatif. Dosen yang manipulatif adalah figur penguasa
yang piawai menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan kesenangan dengan cara menekan
/ mengancam mahasiswa. Dosen sangat bisa mengancam / menindas mahasiswa baik
secara eksplisit maupun implisit tentang status kelulusannya. Berbagai
penelitian menyebutkan bahwa penindasan dosen dalam bentuk pelecehan seksual sering
terjadi di daerah-daerah ‘aman’ seperti kampus, sekolah, asrama mahasiswa dan
tempat kerja. Pelakunya adalah orang-orang yang dikenal oleh korban seperti
dosen, guru, pimpinan dan teman (WHO, 2012). Selain itu, penindasan oleh dosen di
kampus juga merupakan topik yang sering terlupakan (Artaria, 2012), sehingga jarang
ada penelitian yang mengkajinya. Kemungkinan alasannya adalah dosen / guru juga
jarang dianggap sebagai penjahat seksual karena profesi tersebut dianggap mulia
oleh masyarakat.
Pada cerita di atas, anak bingung memilih antara hal-hal yang
menyenangkan (selamat tetapi tidak menikmati permen lezat) dengan hal-hal yang
menakutkan (menghadapi cambuk pemilik toko dan gagal menikmati permen lezat).
Mahasiswa juga dalam dilema yakni memilih antara hal-hal yang menyenangkan (protes
dan berani konfrontasi pada dosen manipulatif sehingga emosi marahnya tersalurkan)
dengan hal-hal yang menakutkan (tidak lulus).
Mahasiswa berada dalam dilema biasanya sedang menghadapi
masalah dengan dosen manipulatif. Pada satu sisi ia ingin protes keras karena
dosen dianggap tidak adil, namun di sisi lain ia takut bila dosen tidak
meluluskannya (Artaria, 2012). Bukti tentang ketakutan mahasiswa terhadap ‘ancaman’
dosen yang banyak terlihat pada kehidupan sehari-hari antara lain:
- Pada saat kuliah, mahasiswa lebih senang duduk pada kursi paling belakang / paling jauh dari kursi dosen. Semakin dekat posisinya dengan dosen, maka probabilitas diberi pertanyaan oleh dosen adalah semakin tinggi. Bila gagal menjawab maka mahasiswa khawatir nilainya buruk sehingga tidak lulus.
- Mahasiswa tidak berani bertanya kepada dosen tentang perolehan nilai yang tidak sesuai dengan harapannya. Alasannya, dosen tersebut juga mengajar pelajaran-pelajaran lainnya, sehingga mahasiswa takut bila banyak pelajaran akan bernilai buruk.
- Mahasiswa terpaksa patuh pada dosen untuk melakukan bimbingan pelajaran pada tempat-tempat yang ‘tidak semestinya’ (misalnya hotel, apartemen, atau tempat-tempat yang sepi).
- Mahasiswa terpaksa menjawab segala bentuk komunikasi yang dikirimkan dosen, meskipun komunikasi tersebut tidak wajar. Komunikasi tidak wajar bisa berarti isinya tidak ada hubungannya dengan pelajaran / melanggar norma susila atau dikirimkan pada waktu yang tidak tepat (misalnya tengah malam).
Jadi apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa yang sedang
menghadapi dilema penindasan tersebut? Ada beberapa hal yang bisa menjadi
pertimbangan mahasiswa untuk segera mengambil keputusan menghadapi dosen
manipulatif tersebut.
- Adanya pengetahuan bahwa dosen tersebut memang sedang melakukan penindasan / pelecehan seksual terhadap mahasiswa. Hal ini penting karena korban sering tidak menyadari bahwa dirinya mengalami pelecehan (Rusyidi, Bintari & Wibowo, 2019).
- Adanya pengakuan diri bahwa mahasiswa tidak berani melaporkan penindasan ini karena adanya kekhawatiran dampak negatif yang tidak diinginkan (Rusyidi et al., 2019). Pengakuan ini penting sebagai bentuk dari penerimaan diri (self acceptance) bahwa diri ini takut dan lemah. Adanya penerimaan diri ini akan memperlancar munculnya ide-ide untuk mengatasi persoalan. Persoalannya, orang memang sulit mengakui bahwa dirinya lemah, buruk atau pecundang. Penerimaan diri ini berbeda dengan menyerah / putus asa. Penerimaan diri adalah pengakuan bahwa diri ini buruk namun tetap berusaha untuk mengatasinya. Putus asa, sebaliknya, tidak ada usaha untuk mengatasi persoalan.
- Adanya pengetahuan bahwa lembaga / universitas sering kali tidak mempunyai sistem perlindungan terhadap korban penindasan ini (Rusyidi et al., 2019). Oleh karena itu mahasiswa harus berusaha secara mandiri untuk mengatasi persoalan penindasan ini.
- Adanya pengetahuan bahwa seseorang menjadi korban bukan karena karakteristik kepribadiannya, namun karena ada predator yang sedang berusaha mengontrol kehidupannya. Hal ini bertentangan dengan pendapat masyarakat umnya bahwa korban penindasan berkarakteristik tertentu seperti rasa percaya diri rendah, lemah dan masochistic (senang bila disiksa) (McGee, 2001). Pendapat masyarakat tersebut cenderung stereotip gender yang mana memandang bahwa perempuan / korban adalah pihak yang lemah sedangkan laki-laki adalah pihak yang kuat.
- Adanya pengetahuan bahwa posisi sebagai mahasiswa juga mempunyai kekuatan (bargaining power). Kekuatan itu adalah bahwa perguruan tinggi membutuhkan mahasiswa. Tanpa ada orang yang bersedia menjadi mahasiswa di perguruan tinggi tersebut, maka lembaga itu akan tutup. Sudah banyak perguruan tinggi tutup / bangkrut karena ketiadaan mahasiswa (Widikusyanto & Satria, 2015).
Berkaca pada cerita anak yang menginginkan permen di atas,
maka strategi yang bisa dilakukan mahasiswa adalah ‘melepaskan permen yang ada
di tangan dan segera lari dari toko’. Artinya, mahasiswa belajar untuk ikhlas
melepaskan harapan untuk lulus / mendapatkan nilai tinggi. Keikhlasan itu akan
menuntun perilaku nothing to loose atau
belajar tanpa beban. Secara konkrit, operasionalisasi metode ikhlas adalah:
- Tetap bertahan pada nilai-nilai pribadi yang diyakini meskipun adanya ancaman tidak lulus. Pertahanan pada nilai-nilai pribadi ini akan menghindarkan seseorang dari rasa penyesalan di kemudian hari. Contoh pertahanan nilai-nilai pribadi ini misalnya tidak mengirimkan data pribadi / foto pribadi kepada orang yang menindas. Selalu waspada adalah kunci untuk selamat.
- Bila dosen menolak / mempersulit proses bimbingan pelajaran, maka mahasiswa bisa mencari pembimbing lainnya secara non-formal. Pada era 4.0 sekarang ini, ada banyak cara untuk menyelesaikan suatu pelajaran tanpa harus melakukan hal-hal tidak terpuji (misalnya plagiat).
- Mahasiswa hendaknya menyimpan berbagai bukti / arsip dari semua tulisan dan penyelesaian tugas kuliah. Ini penting agar mahasiswa tidak asal menuduh dosen, namun semua berdasarkan data. Keberadaan data tertulis / rekaman akan memperkuat posisi mahasiswa.
- Mahasiswa hendaknya sekuat tenaga berprestasi melalui kompetisi yang diadakan oleh pihak luar universitas. Misalnya kompetisi menulis atau mempublikasikan karya tulis di jurnal penelitian. Ini adalah cara halus untuk ‘menampar’ dosen yang mempersulit bimbingan pelajaran. Artinya, dosen manipulatif itu kurang luas pengetahuannya karena tidak mengakui karya tulis mahasiswa yang sudah dipublikasikan secara bergengsi.
- Mahasiswa tidak perlu heboh dengan melaporkan perilaku tidak terpuji dari dosen manipulatif itu pada pimpinan perguruan tinggi. Hal ini karena sistem perguruan tinggi memang kurang mendukung persoalan penindasan ini (Rusyidi et al., 2019). Selain itu, membuat heboh akan mengurangi energi mahasiswa dalam menyelesaikan studi dengan cerdik.
- Mahasiswa juga tidak perlu heboh / mengeluh di media sosial tentang perilaku dosen manipulatif ini. Publikasi di media sosial justru akan membuat dosen tersebut semakin bervariasi dan licin dalam menindas mahasiswa tersebut. Dampaknya mahasiswa akan semakin kesulitan ‘mengalahkan’ dosen manipulatif.
Sebagai penutup dari tulisan ini adalah bahwa kesuksesan /
menjadi sarjana tidak harus dilalui dengan cara merendahkan martabat diri. Untuk
mengatasi persoalan penindasan orang superior
(misalnya dosen, penguasa yang manipulatif) ini maka orang-orang yang
dikategorikan sebagai subordinate
(misalnya mahasiswa yang menderita), harus cerdik dan bersiasat. Cerdik dan
bersiasat pada hakekatnya adalah mengubah diri dengan kreatif dan tidak
menyalahkan lingkungan yang buruk.
Daftar
Pustaka
Artaria, M. (2012). Efek pelecehan seksual di lingkungan
kampus: Studi preliminer. BioKultur.
1(1), Januari-Juni, 53-72.
Rusyidi, B., Bintari,
A. & Wibowo, H. (2019). Pengalaman
dan pengetahuan tentang pelecehan seksual: Studi awal di kalangan mahasiswa
perguruan tinggi. Social Work
Jurnal. 9(1), 75-85. Doi: 10.24198/share.v9i1.21685
WHO
(World Health Organization) (2012). Understanding
and addressing violence against women. Retrieved on June 19, 2020 from:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/77434/WHO_RHR_12.37_eng.pdf;sequence=1
Widikusyanto, M.J. & Satria, J.
(2015). Faktor-faktor yang memengaruhi
keberlanjutan perguruan tinggi di Banten. Jurnal Sains Manajemen. 1(1), Januari, 2-16.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji