Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

DAMPAK PELECEHAN GENDER PADA KESEHATAN MENTAL ANAK-ANAK

 

HASIL KERJASAMA ANTARA RADIO SONORA DAN UP45

 

Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi., MA

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta

 


Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak dari kita yang tidak menyadari tentang terjadinya pelecehan gender dan dampaknya pada kesehatan mental anak-anak. Kondisi di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari tersebut diangkat sebagai tema dalam dialog oleh akademisi UP45. Tujuan agar kita menjadi lebih paham dan bisa mencegah sejak dini. Disiarkan Radio Sonora 97,4 FM Yogyakarta pada hari Selasa 22 September 2020.

 

Gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran fungsi, tanggung jawab dan hak perilaku baik perempuan maupun laki-laki yang dibentuk dan disosialisasikan oleh norma, serta kebiasaan masyarakat.  Pelecehan gender merupakan tindakan pelecehan yang secara disadari atau tidak disadari memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual.

 

“Pemerintah telah sangat memperhatikan tentang perlindungan hak anak melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Adanya sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak”, demikian dijelaskan oleh Dyah Rosiana Puspitasari, S.H., LL.M., Dosen Fakultas Hukum UP45, sebagai salahsatu narasumber.

 


Realita yang sering terjadi yaitu anak laki-laki dan perempuan memang mengalami perlakuan yang berbeda. Anak laki-laki diharapkan untuk lebih aktif dan agresif. Mereka mendapat pujian saat bertindak sesuai ekspektasi tersebut. Sebaliknya, anak perempuan ditegur bila terlalu agresif dan diberikan pujian saat menjadi sopan. Konsep perbedaan karakter dipelajari pertama kali dari Orang tua di rumah. Selanjutnya anak mendapatkan pengaruh dari teman sebaya, serta pengalaman di sekolah.

 

“Ketika kita tidak memahami kesetaraan gender maka yang akan terjadi adalah diskriminasi bahkan bulying. Biasanya yang sering terjadi di kalangan Orang tua itu tentang alat permainan, pakaian, tentang gesture tubuh pada anak. Padahal anak memiliki hak yang sama untuk bereksplorasi, bermain, bertumbuh dan berkembang, aktif bersama teman-teman lainnya”, ungkap Yudha Andri Riyanto, S.Psi., dari Resource Development Yayasan Tunas Sekar Lintang, DIY.

 

Berikut merupakan rangkuman dari ragam pertanyaan pendengar radio saat acara berlangsung dan jawaban dari penulis dan narasumber lainnya.

 

1)    Bunda Hafizah, di Giwangan. Apa saja hal-hal yang bisa dilakukan oleh orang tua maupun lingkungan sekitar untuk mencegah pelecehan dan kekerasan pada anak? Apabila kekerasan itu dilakukan oleh Orang tua sendiri, bagaimana cara anak untuk melindungi dirinya sendiri?

Jawaban: Penting adanya pemahaman kesetaraan gender terlebih dalam proses pendidikan. Perhatian keluarga selain Orang tua serta kepedulian lingkungan sekitar dan pihak sekolah sangat diharapkan turut melindungi anak untuk mencegah terjadinya pelecehan. Anak dapat diberikan pendidikan dan pengetahuan tentang menjaga diri sendiri sesuai dengan tahap perkembangan anak.

 

2)    Mbak Dian, di Sewon Bantul. Pengenalan tentang gender itu sejak kapan? Untuk anak-anak modelnya seperti apa?

Jawaban: Pengenalan tentang kesetaraan gender pada anak diharapkan dapat dilakukan sedini mungkin. Misal, memahami bahwa alat permainan tidak mempunyai jenis kelamin, dalam arti tidak mengelompokkan bagi anak laki-laki ataupun perempuan. Namun alat permainan bertujuan sebagai alat stimulasi bagi tumbuh kembang anak. Pola asuh dalam keluarga menerapkan porsi yang seimbang antara peran ayah dan ibu dalam mendidik anak-anak.

 

3)    Mas Niko, di Jogja. Masyarakat di negara kita menganggap hal seperti ini merupakan hal yang biasa. Bagaimana cara menegur seseorang yang mungkin melakukan pelecehan, agar tidak salah paham dan tidak tersinggung?

Jawaban: Gunakan cara berkomunikasi yang santun. Lebih mengajak berdiskusi tentang pemahaman kesetaraan gender. Berikan penjelasan dampak psikologis yang mungkin terjadi pada anak yang menjadi korban pelecehan. Misal anak akan menjadi pemalu, minder serta memiliki konsep yang salah tentang gender. Terlebih sangat memungkinkan bagi anak tersebut akan menjadi pelaku pelecehan yang serupa di kemudian hari. Pelaku pelecehan dapat dikenai sanksi berupa pidana dan denda sesuai ketetapan hukum yang berlaku.  

 

4)    Mbak Yeni di Bantul.  Bagaimana menyikapi kondisi pelecehan seksual pada anak-anak kaitannya dengan gender? Di daerah kami, perempuan kebetulan minoritas.

Jawaban: Keluarga dan pembelajaran masyarakat sebagai tempat transfer nilainilai sosial merupakan kunci utama dalam hal pencegahan pelecehan seksual lakilaki dan perempuan. Butuh kepekaan dari lingkungan sekitar mengidentifikasi bila terjadi kondisi anak-anak sebagi korban pelecehan.

 

5)    Ibu Seruni, di Demangan, Bagaimana dengan pelaku pelecehan agar ada efek jera dan bagaimana dengan korbannya, terutama pada anak-anak? Apakah perlu dilakukan konsultasi dengan ahli psikologi agar kondisinya pulih lagi terkait dengan pelecehan yang telah dialami?

Jawaban: Bagi pelaku pelecehan dapat diproses secara hukum, dapat dikenai sanksi pidana dan denda. Efek jera lebih pada pemberian pembinaan agar memahami adanya kesetaraan gender terlebih dampak negatif yang terjadi akibat perbuatannya, baik bagi pelaku dan korban. Bagi anak-anak korban pelecehan, hendaknya mendapatkan pendampingan yang intesif dari praktisi psikologi agar terhindar dari trauma dari peristiwa pelecehan yang dialaminya.

 

Pendengar yang mengirimkan pertanyaan menarik dan beruntung yaitu pemilik nomor 082…50 dan 081…10, mendapat hadiah dari Two Hundred Sixty Six Coffe and Barber Shop sebagai salah satu sponsor. Terima kasih kepada seluruh Sahabat Sonora 97.4 FM Yogyakarta.

 

Widiantoro, FW (22 September 2020)

Post a Comment

0 Comments