IDENTITAS ARAB
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Topik |
Perilaku sebagian masyarakat Indonesia berdasarkan keyakinan yang konservatif, eksklusif, dan menolak perubahan. Perilaku tersebut kemudian dimanipulasi untuk kepentingan politik dan ekonomi. |
Sumber |
Burhani, A.N. (2022). Identitas Arab. Kompas, 13 Agustus. Hal. 1-15. |
Ringkasan |
§ Agama mayoritas masyarakat Indonesia adalah Islam. Bagi sebagian masyarakat, Arab adalah identik dengan Islam. Penampilan dengan menggunakan atrtibut Arab, adalah idaman banyak orang karena hal itu menunjukkan kesalehan. Atribut Arab tidak dipandang lagi sebagai pengaruh dari budaya asing (Timur Tengah), namun sudah menjadi identitas sebagian masyarakat Indonesia. Contohnya adalah masyarakat Madura yang mana mereka begitu terobsesi dengan ke-Arab-an. Mereka meniru dalam penampilan, gesture, bahasa, selera kuliner, selera musik, penggunaan kosmetik. § Hanya dengan memanfaatkan atribut Arab saja, seseorang bisa mengeruk keuntungan luar biasa seperti uang, kekuasaan dalam masyarakat, posisi dalam dunia politik, pekerjaan, massa, bahkan pasangan yang rupawan. Masyarakat percaya saja, meskipun orang tersebut tidak berpendidikan tinggi dalam bidang agama Islam. Contohnya adalah organisasi FPI. Banyak orang Madura lebih tertarik menjadi anggota FPI daripada menjadi banser NU. Dalam organisasi NU, tidak semua orang bisa memakai serban dan jubah. Hanya orang-orang dengan pengetahuan yang mumpuni dalam agama Islam yang boleh memakai serban dan jubah. Dalam organisasi FPI, semua orang boleh langsung memakai jubah meskipun pengetahuannya tentang agama rendah. Situasi ini mengarah pada ideologi Wahabisme, radikalisme, intoleransi, dan terorisme. § Pemanfaatan atribut Arab secara membuta ini berbeda dengan wacana Islam Nusantara. Arab digambarkan sebagai antitesis dari Islam. Bahkan segala sesuatu yang berbau Arab, dipandang sebagai hal yang berbahaya dan merupakan ancaman. Ini melahirkan gerakan anti Arab. Contohnya, Wali Sanga melepaskan identitas Arab dalam proses akulturasi demi menyatukan masyarakat Indonesia. Nama sekolah semula adalah Rabithah al-Alawiyah, diganti menjadi Sekolah Diponegoro di Solo. |
Permasalahan |
Kenyataan yang ada, sebagian masyarakat Indonesia cenderung mendewakan atribut Arab tanpa memahami esensi sebenarnya dari agama Islam. Dampaknya, mereka sering memaksakan atribut Arab ini pada orang lain sehingga orang lain yang tidak sealiran dengan mereka merasa terancam. Ini adalah fenomena prasangka yang kemudian berkembang menjadi diskriminasi. Idealnya, masyarakat hendaknya mempunyai kemampuan literasi agama yang memadai sehingga mereka tetap menjadi orang Indonesia, bukan orang Indonesia rasa Arab. |
Opini saya |
§ Dalam beragama, kita hendaknya menggunakan akal sehat dan berpikir kritis. Berpikir kritis adalah bukan dosa. Dua kemampuan itu merupakan bekal bagi literasi dalam agama. Orang dengan literasi agama yang mumpuni akan mengamalkan agama secara toleran dan tidak memaksakan kehendak. § Hal-hal yang sudah saya lakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memerangi konservatisme agama ini adalah (1) Mendidik anak untuk berinteraksi sosial dengan pemeluk agama lain. Misalnya, berdonasi rutin pada panti asuhan yang dikelola oleh pemeluk agama yang berbeda dengan agama saya. (2) Mengajarkan pada anak tentang bahaya prasangka, diskriminasi, radikalisme, intoleransi dan terorisme, melalui buku-buku bacaan. (3) Megamalkan petuah Bung Karno, bahwa “Kalau bergama Hindu janganlah menjadi orang India, kalau beragama Islam janganlah menjadi orang Arab, kalau beragama Kristen janganlah menjadi orang Yahudi. Tetaplah kita menjadi orang Nusantara dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini. |
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji