Arundati Shinta
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Memungut sampah salah satu bentuk Pelayanan agar wisatawan nyaman (foto : Elisa) |
Kualitas pelayanan, itulah kunci utama bagi majunya suatu
organisasasi yang produk utamanya jasa seperti pariwisata. Hal ini karena orang-orang
yang menjadi turis dan bermaksud untuk liburan memang merasa harus dilayani,
meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka berprofesi misalnya sebagai
pelayan. Menjadi orang yang dilayani memang nikmat, karena segala kebutuhannya
sudah disediakan oleh orang lain. Ia tidak perlu memikirkan segala kerepotan
yang ditimbulkan untuk menyediakan segala kebutuhannya. Oleh karena itulah
sudah seharusnya setiap pelaku pariwisata di mana pun, termasuk di Yogyakarta, untuk memprioritaskan pelayanan yang bermutu.
Pelayanan yang bermutu itu hendaknya mulai dari hulu ke hilir
yaitu mulai dari cara penyebaran informasi yang menarik, menyambut tamu,
melayani segala kebutuhan tamu selama di lokasi pariwisata, mengantarkan tamu
untuk membeli cendera mata, sampai mengantarkannya pulang ke rumah. Pelayanan
standar ini masih belum selesai yaitu mengingatkan mereka untuk berkunjung lagi
ke Yogyakarta. Berbagai strategi tentu sudah
dilatihkan pada pelaku pariwisata baik oleh Dinas Pariwisata maupun organisasi-organisasi
lainnya yang bergerak dalam bidang pariwisata. Kenyataan yang ada, standar
pelayanan pariwisata di Yogyakarta masih kalah
jauh dengan Singapura, negara yang miskin sumber daya alam pariwisata. Mengapa
para pelaku pariwisata Yogyakarta tidak mau
belajar dari Singapura?
Rendahnya standar pelayanan pariwisata di Yogyakarta
ini ironisnya saya alami di pusat informasi pariwisata di kawasan Malioboro
Yogyakarta. Rasa tidak nyaman ini bermula dari kebutuhan saya akan informasi
tentang sendra tari yang diadakan di Candi Borobudur. Saya membaca informasi
tersebut di surat
kabar nasional pada bulan Oktober yang lalu tetapi lupa tanggalnya. Untuk
memastikannya, saya mendatangi pusat informasi pariwisata. Petugasnya
mengatakan bahwa ia akan menghubungi kantor pusat di Candi Prambanan. Mendengar
rencananya itu, saya menjelaskan sekali lagi bahwa sendra tari itu dilaksanakan
di Candi Borobudur bukan Candi Prambanan. Hal
yang menarik adalah tanggapannya yaitu dengan menjawab ketus “Sudah tahu!”.
Tentu saja saya menjadi terkejut dan heran, mengapa ia berperilaku ketus.
Bukankah seharusnya ia melayani dengan ramah pada orang-orang yang membutuhkan
informasi tentang pariwisata? Apakah karena saya bukan orang bule, maka petugas
itu berperilaku ketus? Sayangnya saya tidak sempat menunggu sampai datangnya
turis bule pada pusat informasi itu sehingga saya tidak bisa membandingkan
standar pelayanan.
Kesediaan melayani dengan ramah untuk orang-orang yang
membutuhkan informasi nampaknya tidak menjadi prioritas kerja para petugas
informasi. Hal ini terjadi karena mereka belum menyadari bahwa pelayanan adalah
faktor paling penting dalam pariwisata. Seringkali para pelaku pariwisata lebih
mengandalkan daya tarik alam (misalnya Pantai Parangtritis) daripada keramahan
pelayanan. Mereka mungkin beranggapan bahwa tanpa dilayani pun para turis akan
tetap datang. Mental garda depan pariwisata itu sebenarnya melecehkan dirinya
sendiri. Mereka tidak sadar bahwa mereka masih bisa bekerja karena masih ada
orang yang bersedia menikmati sajian pariwisata yang standarnya seadanya saja.
Mereka tidak pernah merasakan sepinya pengunjung, atau bangkrutnya organisasi
pariwisata.
Apa yang harus dilakukan agar para petugas informasi
pariwisata ini segera berbenah? Berharap pada pemerintah untuk melakukan
pelatihan manajemen peningkatan pelayanan pelanggan? Pemerintah sedang sibuk
dengan urusan korupsi para pejabatnya, sehingga sangat tidak mungkin berharap
banyak pada pemerintah. Cara yang paling jitu untuk memperbaiki pelayanan
pariwisata adalah mengumpulkan orang-orang yang peduli dengan pariwisata,
kemudian melakukan kegiatan kreatif untuk memajukan pariwisata di Yogyakarta. Salah satu cara mengumpulkan orang-orang yang
peduli dengan pariwisata yaitu dengan mengadakan lomba menulis pariwisata
seperti ini. Para pesertanya kemudian diminta
untuk melakukan kegiatan nyata untuk menunjang pariwisata di Yogyakarta.
Salah satu kegiatan nyata tersebut antara lain melakukan pelatihan bagi para petugas
yang berhubungan dengan sektor pariwisata. Beruntung UGM mempunyai pusat studi
pariwisata, sehingga koordinasi antar peserta lomba menulis pariwisata bisa
menjadi lebih efektif.
Strategi lainnya yang dapat dicoba yaitu Pusat Studi
Pariwisata UGM sebagai salah satu pemangku kepentingan pariwisata di Yogyakarta bekerjasama dengan SMK (Sekolah Menengah
Kejuruan) di Yogyakarta (misalnya SMK Negeri
4). Kerjasama tersebut antara lain mengadakan pelatihan tentang pentingnya
melatih kemampuan melayani pelanggan dan tamu. Kerjasama ini penting karena
para lulusan SMK tersebut pada umumnya kelak juga akan bergerak dalam bidang
pariwisata.
Sebagai penutup dari tulisan ini adalah bahwa kemampuan melayani
tamu dan pelanggan merupakan dasar bagi keberadaan organisasi pariwisata.
Keberadaan objek wisata alam dan warisan budaya tidak akan langgeng bila tidak
dirawat dengan rasa cinta pada profesi bidang pariwisata serta kesediaan melayani
orang-orang yang terlibat dalam sektor pariwisata. Bukankah hidup ini pada
hakekatnya adalah melayani sesama?
Tulisan ini disiapkan untuk Lomba Karya Tulis Strategi
Pemasaran dan Promosi Pariwisata 2013/14 DI Yogyakarta dan sekitarnya.
Penyelenggara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan World Heritage, pada 20
Desember 2012.
3 Comments
Betul Bu Shinta, mutu pelayanan memang faktor paling penting dalam industri pariwisata. Tidak ada gunanya kalau tujuan wisata di Yogya sudah ditata dengan bagus tetapi pelayanannya memble, ya jelas tidak akan laku. Para pelaku pariwisata harus sadar bahwa objek jualannya tidak akan selamanya ada. Coba kalau misalnya industri perak di Kotagede bangkrut, maka Yogyakarta akan kehilangan daya tariknya.
ReplyDeleteTerima kasih untuk responnya. Saya memang gelisah dengan perilaku masyarakat kita terutama orang-orang yang bergerak dalam bidang pariwisata, sering enggan untuk melayani para turis atau orang-orang yang membutuhkan informasi pariwisata dengan sepenuh hati. Mereka beranggapan bahwa Kraton sebagai salah stu tujuan wisata pasti akan laku dikunjungi wisatawan sampai kiamat. Kalau kraton tidak dirawat dengan sepenuh hati, ya lama-lama turis tidak mau datang kan? Salam, A. Shinta.
DeleteMenjaga pelayanan yang baik di bidang pariwisata tentu sudah diajarkan sejak SMK jurusan pariwisata. Anehnya kita memang bangsa pemalas, maunya dilayaniii melulu. Tidak ada kata melayani dalam benak kita. Kita, termasuk saya, sangat malu dengan kenyataan ini. Tetapi bagaimana lagi ya?
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji