Mega Oktaviani
Fakultas Teknik
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Anya, Mega, Nurul saat berpetualang di Sri Gethuk (Foto : Elisa) |
Be ready when opportunity comes… Luck
is the time when preparation and opportunity meet. (Roy D. Chapin Jr.)---bersiaplah
ketika kesempatan datang… Keberuntungan adalah saat ketika persiapan dan
kesempatan bertemu---
Kami ingin keberuntungan itu kami dapatkan, maka
persiapan pun kami lakukan dengan sangat matang, agar kami siap menemui
kesempatan itu, karena seperti yang kita tahu, kesempatan jarang yang datang dua
kali. Kami telah merencanakan pertualangan ini dari seminggu yang lalu, semua
hal telah kami siapkan, mulai dari
perlengkapan pribadi, kendaraan dan ijin orang tua tentunya.
Mega Oktaviani itulah nama lengkap penulis. Sejak kecil tinggal dan
terlahir di Batam. Yogyakarta
adalah rumah kedua setelah Batam, di Yogyakarta inilah penulis menutut ilmu. Pertama kali
menginjakkan kaki
di stasiun Tugu,
kira-kira dua setengah tahun yang lalu Jogja
telah
membuat penulis jatuh cinta pada kota ini. Cinta itu kini berkembang, cinta yang Penulis sebut “cinta lapis legit”, kenapa
cinta lapis legit? Pastinya bukan karena Penulis suka kue lapis legit, tapi
karena setiap tempat yang Penulis datangi memiliki suasana cinta lapis
demi lapis. Lapisan
cinta bertambah
hari ini, karena hari ini Penulis dan kawan-kawan peserta IAYP berpetualang ke Sri Gethuk di Wonosari dan
Candi Ratu Boko, Sleman.
Perjalanan di awali ke Sri Gethuk. Perjalanan yang luar
biasa bagi penulis, karena perjalanan ini memakan waktu yang cukup lama, dari
kampus Universitas Proklamasi 45 ke Sri Gethuk memakan waktu hampir 2 jam
perjalanan. Inilah yang kemudian penulis sebut sebagai perjalanan hati, perjalanan untuk menemukan
lapisan-lapisan cinta. Mungkin kalian bertanya apa pentingnya menemukan lapisan
cinta, apalagi itu hanya cinta terhadap sebuah kota? Akan Penulis jawab pertanyaan kalian.
Pukul 06.00
WIB
Lapisan pertama cinta hari
ini, Penulis dapat menyaksikan
genitnya sinar matahari
pagi. Menggantung
berwibawa dilangit Yogyakarta. Sosok mentari pagi tanggal
25 Maret 2013 serasa hanya dapat dijumpai di Yogyakarta saja senyum ceria sang
Raja siang. Sepertinya
ini awal yang baik untuk melakukan perjalan, apalagi disaat musim penghujan
seperti ini, pagi yang begitu cerah.
Kawanku Elisa
mengabari lewat pesan singkat bahwa dia di depan gerbang kos-kosan, Penulis berlari menghampirinya, tanpa banyak
kata segera naik
kemotornya.
“Sory agak lama Sa, yuk sudah siap!”
Suzuki Titan pun melesat menuju di depan Kampus
tercinta. Terlihat beberapa peserta IAYP sudah berkumpul di gerbang kampus. Di atas
motor Spin berambut panjang sedikit mengembang memakai Jins keabu-abuan, dialah
temanku yang bernama Nurul. Sampingnya Anya, Singgih, dan Chepi yang siap di atas motornya
masing-masing. Penulis segera turun dari sepeda motor Elisa, beralih ke
motornya Chepi.
Anya segera menaruh sepeda motor ke parkir kampus,
karena sepeda motornya tidak kuat untuk perjalanan mendaki gunung, tak lama
muncul dari tikungan Anya dan Elisa berboncengan berdua. Perjalanan pun
dimulai, sepeda motor melaju beriringan, bagaikan semut yang patuh mengikuti aturan.
Di pertigaan Janti Rauf sudah menunggu kedatangan Kami. Kami pun pergi
beriringan, melewati jalan Berbah. Yah.. Elisa mencarikan jalan yang tidak
biasanya di lewati.
Elisa mencari jalan perkampungan, melewati persawahan
dan gunung berapi yang telah mati puluhan juta tahun yang lalu. Sumber, itulah
nama kawasan dimaksud. Matahari semakin meninggi, kerlingan genit matahari
dengan sedikit kabut menambah suasana. Semangat untuk berpetulangan begitu
berkobar. Yah kita melewati Gunung Glondong, gunung Suru dan sungai yang
sungguh eksotis. Konon gunung Glondong ini dulu adalah gunung yang pernah aktif
puluhan juta tahun yang lalu, dan sungai yang eksotis di kaki gunung ini
terlihat memukau, dihiasi bebatuan kars yang mengandung fosil-fosil. Buktinya
di tempat ini banyak mahasiswa Geologi UGM meneliti kandungan batuan di kawasan
ini. Bahkan tempat ini kini mulai ramai di kunjungi sebagai tempat wisata baru,
menjadi tempat pemotretan preweding.
Setelah berhenti di area ini, mendengar penjelasan
Elisa kita kembali berjalan ke rumah salah satu saudaranya, untuk menitipkan
motor. Karena perjalanan ke Wonosari membutuhkan waktu sekitar 2 jaman, untuk
mengantisipasi kehilangan jejak, akhirnya kita tukar formasi pemboncengan.
Elisa yang trauma dengan jalan bertikung menurun berboncengan dengan Rauf. Anya
bersama Singgih. Penulis tetap sama Chepi dan Nurul bersama Dimas. Perjalanan
pun dimulai! Hanya 3 km dari rumah saudaranya Elisa kita berada di jalan utama,
jalan Wonosari km 15.
Petualangan Kami
pun dimulai. Kami menyusuri jalan Wonosari
yang cukup berbahaya, tidak hanya karena jalurnya yang mendaki dan berliku,
tapi karena banyaknya bus-bus besar dan
truk-truk besar yang melewati jalan
tersebut, juga karena banyaknya pengendara bermotor yang tidak sabaran, menyalip seenaknya saja. Bagaikan
burung wallet yang lincah gesit menikam mangsa, yah itulah gambaran perjalanan
kami. Kami yang tak pernah naik gunung senam jantung, karena di belakang kami
banyak pengendara yang ahli, dan banyak dari mereka yang tidak Kami kenal
mengklakson Kami yang mengendarai dengan kecepatan relatif lamban.
Motorpun merangkak pelan, meski pelan tapi pasti.
Godaan selain medan yang berliku dan menanjak, mata pun tergoda dengan
keindahan pemandangan alam. Nampak terhampar pemukiman dan sawah-sawah yang
menghijau tersorot oleh hangat sinar mentari. dari atas melihat bawah nampak
kabut tipis menyelimuti permukaan. Tak terasa sampailah di Hargo Dumilah. Rauf
dan Elisa berada di barisan terdepan sebagai penunjuk jalan.
Matahari mulai meninggi, melewati medan yang curam,
akhirnya sampailah kita di kawasan Playen. Lampu merah Playen pun menghentikan
mesin motor kami, sebagai pengguna jalan yang tertib tentu mentaati aturan lalu
lintas. Pertigaan Playen Kami mengambil kanan jalan. Lagi-lagi melewati
perkampungan yang asri. Suasana kembali dingin, sangat dingin. Banyak pepohonan
yang tumbuh di tempat ini. Pemandangan yang jarang ditemui di dekat kos-kos san
Penulis di Sleman.
“Hap!” Sepeda motor Elisa dan Rauf tiba-tiba berhenti,
Kitapun turut berhenti mendadak. Sepeda motor Elisa bocor, tertancap paku.
Kerja TIM IAYP diuji saat itu, kami berpencar ke rumah warga setempat, sekedar
mencari informasi tempat tambal ban terdekat. Salah satu warga memberikan informasi
tempat ban yang dekat, kami pun berjalan cukup jauh. Semua pun ikut menuntun
motor mengiringinya, Anya, Nurul, Penulis dan Elisa berjalan bagaikan seorang
putri yang berpetualang, para lelaki dengan gagahnya turut menuntun sepeda kuda
besi beriringan. Itulah TIM IAYP kami.
Sekitar 30 menit Kami menanti Suzuki Smesh di ruang
UGD penambal ban. Sebagai pengisi waktu, candaan seperti biasa pun terlontar. Lewat
candaan inilah yang membuat sesuatu yang terasa jauh menjadi sangat dekat, dan
dekat. Dahulu hanya sekedar kenal, kini telah menjadi bagian keluarga. yah
bagian keluarga, Mereka Tim IAYP yang ikut Adventure ini keluarga yang
mengesankan. Meskipun Chepi dan Rauf sudah melakukan petualangan, mereka
merelakan ikut berpetualangan bersama Kami. Di sinilah TIM angkatan IAYP kami
terbentuk. Dan sebelum perjalanan Adventure ini, Penulis meyakinkan orangtua
agar mengijinkan Adventure ini, dan ingin membuktikan kepada Ayah Ibuku bahwa kegiatan
ini sebagai pembentukan karakter.
09.25
WIB
Perjalanan Kami pun berlanjut. Sepeda motor Elisa dan Rauf sudah
baik-baik saja, kembali menjadi penunjuk jalan Sri Gethuk. Sekitar 13 km dari
tempat penambal ban Kami pun sampai. Sepanjang perjalanan, kita melewati
perkebunan minyak kayu putih. Terhampar luas membentang di kanan kiri jalan
aspal yang Kita lewati. Suasana benar-benar asri dan sejuk.
Perjalanan panjang ini terasa singkat, tak terasa telah
tiba di pintu masuk Sri Gethuk. Pertama kali masuk tidak ada yang menarik sama
sekali dari tempat ini. Hanya ada penjaga pintu masuk Sri Gethuk. Pintu masuk
ke Sri Gethuk hanya 5.000/ orang.
“WOW” itulah kata pertamakali yang terucap, medan yang
kita lewati pintu masuk ke Sri Gethuk sangat ekstrim menurun, dan medan yang
berbatu terjal, sedikit licin, karena tempatnya cukup lembab. Apalagi saat ada
tikungan, tepinya sudah parit-parit sawah yang cukup dalam. Di tempat ini
benar-benar menguji andrenalin, tidak hanya penulis yang tegang, semua peserta
IAYP tegang melewati medan ini.
Menuju Air Terjun Sri Gethuk lewat jalur darat (Foto : Chepi) |
Perjalanan maut itu akhirnya terlewati, Kami telah tiba di
tempat parkiran motor. Dari tempat parkir menuju ke air terjun Sri Gethuk kami
memutuskan jalan kaki. Sebenarnya ada dua jalur menuju ke Sri Gethuk, lewat
kapal apung dan jalan kaki, menghindari kapal karena Singgih tidak suka sesuatu
yang berbau sungai besar dan laut. Melewati persawahan sepanjang 500 meter.
Banyak pohon kelapa di sini, kolam ikan di dekat lahan sawah, dan banyak
ditemui petani di sini. Ini
mungkin pemandangan yang biasa bagi teman-teman,
namun tidak bagi Penulis yang
berasal dari Batam, mau
tau kenapa? Karena di Batam
tidak ada sawah. Di jalan
setapak ini, dengan suasana sawah, dan aroma basahnya tanah sawah menambah satu
lagi lapisan cinta Penulis kepada
Jogja.
Keringat kami yang mengucur karena teriknya matahari dan
rasa haus yang kami rasakan saat perjalanan itu terasa tidak ada artinya saat
kami melihat indahnya air terjun Sri Gethuk. Hasrat ingin terjun dan
menceburkan diri di bawah air terjun pun tak terbendung. Kami berganti baju dan menyewa
pelampung seharga lima ribu rupiah, setelah mendapat pelampung yang pas, dan
memakainya senyaman mungkin, kami
pun menceburkan diri ke sungai dengan kedalaman 6 meter. Disinilah petualangan kami
di mulai, kita terjun di atas batu. Penasaran bukan?, ada cerita yang lebih
seru di edisi selanjutnya.
Dinginnya air sungai ini membuat perasaan-perasaan sedih
yang tertumpuk dipikiranku, beban kuliah, kegelisahan karena uangku yang
menipis karena sudah akhir bulan, semua hal menyebalkan itu seperti mengalir
lepas dari kepala Penulis dan terbawa arus entah kemana,
dan menyisakan selapis cinta lagi untuk jogja.
Sepertinya keindahan alam Sri Gethuk mempunyai kekuatan sihir yang membuat
semua pengunjungnya terus tersenyum dan tertawa, semuanya merasa senang.
Temenku yang laki-laki menambah kesenangan mereka dengan memacu adrenalinnya
dengan meloncat dari tebing ke dalam
sungai. Sepertinya sangat menantang, apalagi buat Penulis yang tidak begitu mahir
berenang. Namun sesaat muncul ide gila di kepalaku, ide untuk ikutan mencoba
terjun.
Suatu kalimat terlintas diingatanku, Penulis lupa pernah membacanya dimana.
“a life without a risk is a life unlived”.
Entah bagaimana, kalimat ini seakan-akan menguatkan ide gila tadi. Maka Penulispun
membuat keputusan untuk mencoba terjun, dan mengalahkan rasa takut.
“Mak,
ayo temani naik, aku mau
coba terjun” teriakku kepada rauf yang sering Penulis panggil amak (anak mapala), dia baru saja terjun dari
tebing. “serius?” jawab Rauf.
“serius!”
jawabku, sembari berenang mengikuti arus sungai kearahnya.
Setelah sampai ditempat Rauf berenang mengapung, kami berdua
berenang ke tepi
tebing. Penulis naik
tebing disusul rauf dan Chepi.
Tebingnya licin, Penulis tidak takut ketinggian, tapi
licin selalu berhasil membuatku gentar. Kami berjalan pelan, berjongkok-jongkok
dan sambil berpegangan kesisi tebing, hingga sampai dibibir tebing tempat untuk
terjun. Sesampainya di bibir
tebing Penulis duduk
untuk meredakan jantungku yang sedari
tadi berdegub kencang karena licinnya batu-batu tebing yang kulewati.
Setelah lebih tenang, Rauf mengajarkan teknik singkat untuk
terjun, dan inilah Penulis yang berdiri dibibir tebing
dan bersiap melompat. Di bawah,
di sungai kawan-kawanku bersorak menyemangati dan beberapa pengunjung lain
melihatku, dan ini membuatku semakin gugup. Rauf menghitung maju sampai tiga,
tapi Penulis masih
belum terjun. Entah berapa kali dia menghitung maju, tapi Penulis masih belum terjun. Kawan-kawan
yang lain mengunggu sambil melihat kearahku, Elisa bersiap dengan kameranya, dan Dimas sengaja berjaga-jaga ditengah
sungai, kalau-kalau terjadi yang tidak diinginkan. Penulis mengumpulkan keberanian, dan
mulai menghitung maju, 1... 2...3... dan Penulispun melayang sesaat, berteriak
sampai kakiku menghempas permukaan sungai dan kembali muncul dipermukaan sambil
berteriak-teriak dan bertos ria dengan kawan-kawanku. Selapis cinta lagi penulis temukan
saat melayang sebelum menyentuh air sungai Sri Gethuk.
12.30 WIB
Jalur Air Terjun Sri Gethuk Jalur air (Foto : Chepi) |
Karena cukup lama bermain air, dan juga karena belum
sarapan, binatang melata diperutku memberontak minta diberi makan. Maka Penulis dan teman-teman membeli popmie
dan beberapa gorengan dari ibu yang berjualan di tepi sungai. Dan jadilah ini
pop mie
terenak yang pernah Penulis makan,
karena makannya sambil melihat hijaunya alam Sri Gethuk, hijau yang
menentramkan.
Setelah menghabiskan makanan, kami membereskan barang-barang karena
kami ingin membilas badan dan berganti dengan pakaian kering, kami memutuskan
naik perahu yang akan langsung
mengantarkan kami ketempat pembilasan. Naik perahu dikenakan biaya lima ribu
rupiah perorangnya.
Di atas perahu, pikiranku melayang kesuatu obrolan di
suatu subuh dua setengah tahun yang lalu. Penulis baru sampai di Jogja, Penulis dan ibuku menunggu pagi sambil
minum teh untuk melepas lelah perjalanan.
“Ma,
gimana kalau kota ini tidak
seperti yang mega bayangkan? Gimana kalau mega tidak bisa adaptasi?” tanyaku.
“Mega
sayang, kamu pasti bisa bertahan tinggal di sini dan merasa nyaman sama
seperti kamu nyaman tinggal di Batam, jika kamu mau mencoba mencintai kota ini,” itulah mengapa perjalanan ini
sangat penting. Penulis selalu menerapkan pesan ibu,
karena itu terbukti membuatku nyaman tinggal di kota ini. Rasa nyaman itu
membuatku bisa bertahan, menuntut ilmu, dan bahkan melakukan hal-hal yang baru,
yang belum pernah Penulis lakukan.
Begitu besarnya manfaat dari sebuah kenyamanan itu, kenyaman yang Penulis dapat hanya dengan
mengumpulkan lapisan-lapisan cinta terhadap
Jogja. Penulis tidak akan pernah berhenti
untuk menemukan lapisan-lapisan cinta hadap
kota ini, kota Jogja.
Penulis menatap
ke air
terjun Sri Gethuk untuk terakhir kali, dan merekam pemandangannya, suara
gemuruh air terjunnya, tebing-tebingnya yang gagah menjulang, dan hijau alamnya
di kepala Penulis yang kemudian Penulis simpan rapi-rapi dihati ini.
Selamat tinggal Sri Gethuk, terimakasih karena telah menambah tebal lapisan
cinta kepada Jogja.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji