Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

MEMERANGI IMPOSTER SYNDROME:

 

UPAYA MEMPERKUAT MENTAL SEJAHTERA BAGI PEMBELAJAR SEGALA USIA

 

Arundati Shinta

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

 


Imposter syndrome adalah reaksi seseorang yg berfokus pd ketidakmampuannya dan melupakan kapasitas sesungguhnya ketika hadapi kesulitan. Individu menjadi takut bila ketidakmampuannya tersebut diketahui orang lain. Agar tidak diketahui orang akan ketidakmampuannya itu, maka ia selalu mengatakan bahwa kesuksesan yang diraih itu karena faktor eksternal / keberuntungan saja. Akhirnya individu menjadi sangat yakin bahwa ia memang ditakdirkan selalu gagal. Kalaupun ia sukses maka hal itu karena faktor eksternal
(Clance & Suzanne, 1978).

 

Dari sisi kata, imposter adalah penipu. Artinya kita merasa seperti menipu orang lain bahwa kesuksesan yg kita raih adalah karena faktor internal padahal kita yakin hal itu karena faktor eksternal / hoki / keberuntungan semata. Orang yang pertama kali membahas adalah Pauline Rose Clance & Suzanne Imes.

 

Apakah imposter syndrom itu serius untuk dibahas (Aparna & Menon, 2020)?.

Ø  Sangat serius, karena imposter syndrom terjadi pd hampir semua orang (sekitar 70% populasi), meski pendidikannya tinggi, pengalamannya luas, prestasinya tinggi.

Ø  Bila imposter syndrome menjadi dominan maka orang-orang akan tidak produktif.

Ø  Bila terbiasa dengan imposter syndrom, maka kita juga akan nyaman dengan situasi buruk. Istilahnya get comfortable with being uncomfortable.

 

Apa penyebab imposter syndrom (Rachman & Jakob, 2021)?

Ø  Karena kita tidak bisa menerima keadaan diri kita apa adanya. Kita selalu silau dengan keberhasilan orang lain.

Ø  Kalaupun kita sedang sukses, maka kita percaya hal itu terjadi karena faktor eksternal / hoki, bukan karena faktor internal.

Ø  Kita terbiasa berpikir bahwa kita mengerjakan suatu pekerjaan atau menyelesaikan tugas-tugas karena hal itu adalah tanggung jawab. Tidak ada sesuatu yang spesial di balik penyelesaian tanggung jawab. Dampaknya kita tidak terbiasa merayakan / mengapresiasi keberhasilan, meskipun keberhasilan itu hanya kecil saja.

 

Akar dari impoter syndrom adalah (Rachman & Jakob, 2021):

1)    Pengaruh pendidikan dalam keluarga: Kita terbiasa dibanding2kan dengan anak lain yg dianggap lebih pintar. Apa pun prestasi kita selalu dianggap lebih buruk. Padahal sebenarnya prestasi anak yg dijadikan standar itu biasa-biasa saja. Selanjutnya, ketika orangtua sangat sukses, jumlah anak hanya 1, dan anak dididik untuk selalu unggul. Anak menjadi terbiasa juara. Pada kehidupan selanjutnya, ternyata anak tidak selalu bisa juara dalam banyak hal. Ketika gagal dalam suatu hal maka berarti hidup seluruhnya dianggap gagal.

2)    Faktor situasi kerja – ketika seseorang sedang dalam tahap transisi, orang2 sangat takut gagal. Rentan terserang imposter syndrome. Oleh karena takut gagal, maka strategi mereka adalah tidak melakukan sama sekali sehingga terhindar dari kegagaln. Ini memperburuk kesehatan mental sehingga individu menjadi cemas & depresi.

 

Cara mengatasi imposter syndrom adalah (Tiefenthaler, 2018):

1)    Meyakinkan diri bahwa kita memang sedang berkembang / belum selesai sehingga wajar kalau ada kegagalan. Kegagalan merupakan pembelajaran.

2)    Sering lakukan self talk yang positif. Ketika kita hadapi situasi sulit yg mana semua orang menolak kita, maka janganlah kita membuat cerita bahwa kita memang orang yang ditakdirkan untuk gagal. Bila cerita ttg diri kita sendiri tidak bernilai positif, maka negavitisme akan membelit mental dan pikiran kita.

3)    Kita perlu jejaring pertemanan di luar pekerjaan dan keluarga. Kita akan menemukan sosok2 panutan yg bisa jadi mentor kita. Keberadaan mentor akan membantu kita untuk melihat diri sendiri dari sisi yang berbeda dari yang selama ini kita kembangkan.

4)    Kita perlu membalik semua mindset bahwa kesulitan adalah kesempatan untuk berkembang yang bisa mendorong kita tuk belajar ketrampilan baru.

5)    Kita perlu mengapresiasi prestasi2 diri sendiri dengan lebih fair. Ini bukan kesombongan, namun fair / adil bagi diri sendiri.

6)    Perbaiki sistem saraf di otak.

 

Cara perbaiki sistem saraf otak (Rachman & Jakob, 2021):

1)    Kita perlu mengatur pikiran agar selalu fokus pada solusi dengan bertanya “Apa yang bisa kulakukan agar tidak terjadi kesalahan serupa?”.

2)    Kita perlu meyakini bahwa kecemasan2 itu hanya terjadi di otak saja dan tidak didukung oleh fakta2 yang ada.

3)    Gunakan lebih banyak kata “dan” daripada “tetapi”. Memang ini skedar kata-kata, namun sangat bisa menghipnotis kita dan mempengaruhi kita.

4)    Keberhasilan, piagam, benda2 yang mengapresiasi – merupakan bukti bahwa pihak eksternal mengakui keberhasilan dan kebaikan kita. Hal itu bukan keberuntungan / hoki, namun krn kita memang mampu.

5)    Dengan berlatih terus, pelan2 gelombang di otak kita berubah dan membuat kita mampu mengmbangkan diri menjadi lebih berdaya dan mindful.

6)    Adanya keyakinan bahwa kemampuan seseorang bisa berubah karena belajar dan latihan.

 

Pengalaman pribadi atasi imposter syndrome

 

Menyadari bahwa saya terkena imposter syndrome karena:

a)    Ada banyak saingan, sehingga karya2 saya tidak diperhatikan sama sekali.

b)    Karya2 saya mendapat kritikan, sehingga saya merasa orang lain lebih pintar, lebih sukses, lebih bagus, sedangkan saya tidak bisa apa2 sama sekali.

 

Saya berusaha sangat keras untuk menjadi unggul dengan cara mencari bidang2 yang bisa dieksplorasi, namun minim saingan. Pilihannya adalah mengeksplorasi sampah. Hasilnya adalah:

1)    Saya menjadi sadar bahwa orang2 yang mengkritik saya ternyata hanya bisa mengkritik, namun perilaku mereka tentang sampah nol besar. Setiap orang seharusnya bertanggung jawab terhadap sampah / limbahnya sendiri. Mereka tidak mau bertanggung jawab. Saya mengambil alih tanggung jawab mereka. Artinya, saya tidak perlu merisaukan kritikan orang2 yg kurang bertanggung jawab itu tentang karya saya.

2)    Mengeksplorasi sampah (memuliakan sampah), memberi kesempatan pd saya untuk melatih satunya kata dan perbuatan. Saya dididik untuk berperilaku: tidak lakukan prokrastinansi, bertanggung jawab, mengurangi kemalasan, berhemat, selalu berpikir kreatif dan bertindak inovatif, peduli pada orang lain terutama pemulung

3)    Oleh karena minim persaingan dan unik, maka banyak karya saya yang menjadi perhatian orang, mulai dari terbitnya buku, publikasi tentang perilaku orang terhadap sampah pada berbagai jurnal dan seminar nasional dan internasional, serta tayangan di youtube. Pelan2, imposter syndrome berkurang.

4)    Adanya informasi bahwa karir dalam bidang lingkungan hidup adalah karir yang berkesinambungan. Hal ini membuat saya semakin bersemangat mengolah limbah dan sampah.

5)    Dari sampah saya mendapatkan kesempatan untuk membeli emas batangan.

 

Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini dilaksanakan pada 29 Januari 2022, atas undangan Forum Komunikasi Fakultas-Prodi Psikologi Yogyakarta (AP2TPI DIY). Kegiatan pengabdian ini dilaksanakan melalui webinar.

 

Daftar pustaka:

 

Aparna K.H. & Menon, P. (2020). Impostor syndrome: An integrative framework of its antecedents, consequences and moderating factors on sustainable leader behaviors. European Journal of Training and Development. February. 1-19. DOI: 10.1108/EJTD-07-2019-0138  2020

Clance, P.R. & Suzanne, I.S. (1978). The imposter phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy Theory, Research and Practice. 15(3), Fall, 1-8.

Rachman, E. & Jakob, E. (2021). Karier experd: Imposter syndrome. Kompas. 6 November, hal. 7.

Tiefenthaler, I. (2018). Conquering imposter syndrome. University of Montana Journal of Early Childhood Scholarship and Innovative Practice. 2(1), Art. 4, 1-3.

 




 

 

Post a Comment

0 Comments