Agus Priyono
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Foto : Elisa |
Terkesan oleh satu rumor yang
mempertanyakan dimana pecinta alam saat ini. Pertanyaan ini sekaligus menjawab
teka-teki bahwa ternyata masih ada orang yang tahu tentang pecinta alam.
Berbicara pecinta alam bagi kita
tidak lebih seperti berbicara masalah lingkungan yang semakin absurd tidak tahu
ujungnya. Tercatat hampir sekitar 250 perhimpunan pecinta alam
di Yogyakarta saja, belum di Indonesia. Pada umumnya terdiri dari berbagai
elemen masyarakat dari mahasiswa,pelajar sampai organisasi PA (pecinta alam)
umum pun hadir menjamur dewasa ini.di mahasiswa terkenal dengan sebutan Mapala
(Mahasiswa Pecinta Alam) di pelajar terkenal dengan nama Sispala (siswa pecinta
alam).
Secara umum orang tahu pecinta alam,
mereka adalah orang yang suka atau punya hobi naik gunung dengan rambut
gondrong, pakaian, aksesoris yang khas menandakan seorang pecinta alam.
Sayangnya opini yang menempel pada diri PA ini lebih menjurus pada konotasi
yang negative, ini lebih karena sering terjadinya praktek-praktek vandalisme di
gunung, tempat wanawisata bahkan dipuncak gunung sekalipun ada coretan-coretan
iseng. Terlepas dari apakah ini perbuatan seorang pecinta alam atau hanya
kebetulan orang yang iseng saja yang naik gunung membawa spidol atau cat semprot.
Karena sulit membedakan antara
pecinta alam asli yang peduli alam dan lingkungannya atau hanya pecinta alam
gadungan yang hanya menempelkan nama kerennya saja, anggapan pun semakin luas
terhadap perilaku sosial yang tidak terpuji seperti membuat kegaduhan di tengah
malam dengan teriak-teriak bahkan lebih kaget lagi adalah sering ditemukannya
berbagai macam sampah sampai kondom sekalipun di Taman Wisata Kaliurang, ini
siapa lagi kalau bukan orang yang sering main ke gunung.
Terlepas dari konotasi negative
tadi, pecinta alam mempunyai satu posisi yang sangat penting perannya dalam
membina generasi muda untuk kepedulian terhadap alam ini seperti bisa kita
lihat kegiatan-kegiatan penghijauan di lereng Merapi yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok pecinta alam di Yogyakarta atau aksi bersih kali oleh
beberapa pecinta alam di Bandung beberapa bulan. Ini menandakan adanya satu
persepsi yang masih belum diketahui oleh kebanyakan orang tentang kegiatan
pecinta alam yang tidak saja berkutat di acara mendaki gunung.
Namun dalam tataran politik
lingkungan pecinta alam cenderung apolitis dalam tataran gerakan lingkungan
secara keseluruhan pecinta alam belum memperlihatkan sebuah sinergi gerakan
yang dinamis, sepertinya belum ada satu pemikiran taktis gerakan pecinta alam
dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan. Lebih jauh
lagi pada peran mahasiswa pecinta alam, masih sedikit aksi-aksi advokasi dari
para mahasiswa pecinta alam untuk masalah lingkungan.
Ini terkesan apatis untuk
melakukan advokasi bagi korban pencemaran lingkungan atau penolakan untuk
rencana pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan. Ambilah salah satu
contohnya di Yogyakarta, ditengah maraknya isu pembangungan kawasan konservasi
air dan hutan oleh Pemkot, Jalan Lintas Selatan yang melewati kawasan hutan
yang masih alami, Taman Nasional Gunung Merapi, Safir Square , Plaza Book UGM,
Pelabuhan ikan di Pantai Glagah yang nyata-nyata tidak sesuai dengan Ketentuan
kebijakan lingkungan mengenai Tata Ruang, AMDAL, UU No 23 taqhun 1997,
Transparansi dan Akuntabilitas public. Mahasiwa pecinta alam atau kelompok
pecinta alam lainnya terkesan acuh tak acuh tidak mau peduli mengkritisinya.
Dikutip dari satu catatan Gerlorfd
Nelson senator Amerika tahun 1970 yang disampaikan dalam Catalyst Conference
Speech of Illionis tahun 1990, ia mengatakan “ jika ingin mengubah Negara untuk
kegiatan-kegiatan yang sulit tentang persoalan kebijakan politik, pecinta
lingkungan menjadi sumber kekuatan dengan apa saja dapat dilakukan, jika anda
ingin mempunyai Negara untuk kepentingan ekonomi, pikirkan diri anda dan
generasi yang akan datang, kita yakin anda dapat melakukannya“. Catatan ini
yang menjadi dasar untuk bergerak dalam wacana lingkungan melawan kapitalisme
global.
Kini
bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk membangun sebuah sinergi gerakan dari
para pecinta alam baik itu mahasiswa pecinta alam, siswa pecinta alam ataupun
kelompok kelompok pecinta alam lainnya untuk masa depan lingkungan hidup karena
masalah lingkungan adalah permasalahan bersama sehingga korelasi antara
banyaknya pecinta alam dengan kelestarian alam ini dalam tanda positif bukan sebaliknya.
“Sedikit ide yang kau tuang dalam karya, akan lebih berarti daripada seribu
kata yang terucap”
Pecinta alam,
seringkali diidentifikasikan sebagai kegiatan yg berhubungan dgn alam. Medaki
gunung, menyusuri gua, mengagumi keajaiban dasar samudera, merambah belantara
nan sunyi dan sederet kegiatan ‘alam’ lainnya.
Tentang
pencinta sendiri di negeri kita, seringkali kegiatan yg dilakukan hanya sebatas
sloganisasi belaka, sebatas mereka menikmati alam untuk diri sendiri, sebatas
mencari kepuasan untuk kepentingan pribadi. Pencinta Alam, mereka yg menamakan
diri sebagai Pencinta Alam sering kali melakukan banyak aktivitas yg justru
mengganggu keseimbangan alam. Menjelajah gunung dan membuat jejak-jejak disana,
mencoret batu-batu di puncak, membuang sampah non organik ke sembarang tempat,
membuat api unggun yg seringkali lupa dimatikan, memetik Edelweiss hingga
beratus-ratus tangkai
Untuk Sebuah organisasi
Pencinta Alam (yg biasanya ngetren di kalangan mahasiswa) seharusnya tidak
sekadar sebuah tempat bernaung bagi mereka yg senang bertualang saja atau
menghabiskan anggaran dana di kampus. Ironis membayangkan mereka melakukan
pendakian besar-besaran yg menelan biaya tinggi sampai ke luar negeri,
sementara, di negeri sendiri, negeri yg (seharusnya) elok dan kaya akan hutan
tropis perlahan mulai kehilangan identitasnya. Pencurian kayu, pembabatan hutan
secara liar luput dari penyelamatan sang ‘pencinta alam’ Pencinta Alam.
Dalam konteks
bahasa adalah seseorang yg sangat mencintai alam. Mencintai berarti melakukan
banyak hal untuk sesuatu/seseorang yg dicintai. Mencoba membahagiakan
sesuatu/seseorang yg kita cintai dgn tulus. Melakukan banyak hal agar sesuatu/seseorang
yg dicintai merasa nyaman. Mencintai itu tanpa sederet syarat apapun, Mencintai
itu sesuatu yg tulus, tanpa pamrih. Mencintai Alam, sama halya dgn melakukan
banyak hal untuk alam, tanpa syarat-syarat khusus, tanpa dibarengi rasa keegoisan
untuk memiliki alam secara individual, tanpa mengabaikan apa yg sebetulnya
dibutuhkan oleh alam. Semua harus dilakukan tanpa pamrih, pamrih untuk
dimunculkan di media massa, tanpa pamrih di puji banyak pihak, tanpa pamrih
untuk mendapat dukungan dana berlebih yg pada akhirnya digunakan entah kemana.
Mencintai alam, mencintai wujud ciptan-Nya, mengasihi setiap apa yg ada di
dalamnya. Memulai dari hal kecil di sekitar kita. Meski kecil, andai setiap
orang melakukannya pasti hasilnya menjadi lebih berarti.
Kode
Etik Pecinta Alam Se-Indonesia
Pecinta
alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa
Pecinta
alam Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung
jawab kami kepada Tuhan, bangsa, dan tanah air
Pecinta
alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam adalah sebagai mahkluk yang mencintai
alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa
Sesuai
dengan hakekat di atas kami dengan kesadaran menyatakan:
- Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya
- Mengabdi kepada bangsa dan tanah air
- Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnya
- Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pecinta alam sesuai dengan azas pecinta alam
- Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanakan pengabdian terhadap Tuhan, bangsa, dan
Pecinta alam konservatif sebenarnya
yang di butuhkan alam dan bumi ini. Banyak berkeliaran para pecinta alam atau
bahkan yang mengaku dan mengatasnamakan pecinta alam, tetapi hanya sebatas nama
dan lambang di jaketnya. Sering kita jumpai khususnya dalam pendakian gunung,
pecinta alam - pecinta alam sibuk berpacking dan mempersiapkan
perjalanannya. Ditengah jalan, di iringi dengan sayup angin dan suara
gemerisik dedaunan, mereka meretas langkah, menyerukan bahwa mereka pecinta
alam yang tengah berada di tengah alam. Itu yang banyak di jumpai sekarang
ini, bahkan mungkin sejak dahulu.
foto : Papa Elang |
Tetapi,
di antara sekian banyak pecinta alam, juga banyak yang tidak tahu sama
sekali atau juga lupa tentang kode etik pecinta alam. Kode etik pecinta alam yang memang dibuat bagi para penggiat alam bebas untuk lebih tulus dan sejati
mencintai alam. Ada juga yang tumbuh model pecinta alam konservatif walau
jumlahnya hanya sepersekian persen dari ribuan "pecinta alam"
di Indonesia. Bahkan yang lebih membuat sedih, pecinta alam konservatif
hanya tahu menanam pohon di lereng gunung, melakukan bersih gunung, kemudian
turun dan selesai!
Menanam pohon itu mudah, tetapi merawat dalam waktu berkala apakah juga mudah? Padahal itulah yang sebenarnya di butuhkan alam. Bila berpedoman pada menanam pohon itu cukup dan sudah bertindak sebagai pecinta alam konservatif, itu jauh dari sempurna dan jauh dari gelar, pecinta alam konservatif sejati. Sama dengan anda pecinta alam yang ikut - ikutan konservatif!
Bila saja kita mau melihat ke masa lalu sebetulnya sejarah manusia erat hubungannya dengan alam. Sejak zaman prasejarah dimana manusia masih berburu dan mengumpulkan makanan ( meramu ), alam adalah tempat tinggal mereka, tempat mereka bergantung dan hidup. Jajaran pegunungan adalah tempat mereka bersandar, lembah padang rumput merupakan tempat mereka berbaring, sungai adalah tempat mereka melepaskan dahaga, dan goa - goa adalah tempat mereka berlindung dari sengatan matahari dan terpaan hujan.
Akan tetapi setelah manusia menemukan kebudayaan dan teknologi, alam menjadi seperti barang aneh dan selalu di eksploitasi. Manusia mulai mendirikan bangunan untuk mereka berlindung, manusia mulai menciptakan barang - barang untuk mendapatkan kemudahan dalam hidup mereka walau mereka tak menyadari barang - barang tersebut dapat mencemari alam. Manusia juga menciptakan gedung - gedung bertingkat untuk mengangkat kepala mereka dan menonjolkan keegoisan mereka, hingga pada akhirnya manusia dan alam mengukir sejarahnya sendiri-sendiri. Lihatlah di lereng gunung, pohon butuh kita rawat, bila hanya menanam kemudian kita tinggalkan tanpa menerima lagi sentuhan kita, apa yang akan terjadi? Tuhan Maha Kuasa, pohon akan di tumbuhkan oleh - Nya, dan kita yang merawatnya dan memupuknya. Itulah tanda pecinta alam konservatif sejati.
Menanam pohon itu mudah, tetapi merawat dalam waktu berkala apakah juga mudah? Padahal itulah yang sebenarnya di butuhkan alam. Bila berpedoman pada menanam pohon itu cukup dan sudah bertindak sebagai pecinta alam konservatif, itu jauh dari sempurna dan jauh dari gelar, pecinta alam konservatif sejati. Sama dengan anda pecinta alam yang ikut - ikutan konservatif!
Bila saja kita mau melihat ke masa lalu sebetulnya sejarah manusia erat hubungannya dengan alam. Sejak zaman prasejarah dimana manusia masih berburu dan mengumpulkan makanan ( meramu ), alam adalah tempat tinggal mereka, tempat mereka bergantung dan hidup. Jajaran pegunungan adalah tempat mereka bersandar, lembah padang rumput merupakan tempat mereka berbaring, sungai adalah tempat mereka melepaskan dahaga, dan goa - goa adalah tempat mereka berlindung dari sengatan matahari dan terpaan hujan.
Akan tetapi setelah manusia menemukan kebudayaan dan teknologi, alam menjadi seperti barang aneh dan selalu di eksploitasi. Manusia mulai mendirikan bangunan untuk mereka berlindung, manusia mulai menciptakan barang - barang untuk mendapatkan kemudahan dalam hidup mereka walau mereka tak menyadari barang - barang tersebut dapat mencemari alam. Manusia juga menciptakan gedung - gedung bertingkat untuk mengangkat kepala mereka dan menonjolkan keegoisan mereka, hingga pada akhirnya manusia dan alam mengukir sejarahnya sendiri-sendiri. Lihatlah di lereng gunung, pohon butuh kita rawat, bila hanya menanam kemudian kita tinggalkan tanpa menerima lagi sentuhan kita, apa yang akan terjadi? Tuhan Maha Kuasa, pohon akan di tumbuhkan oleh - Nya, dan kita yang merawatnya dan memupuknya. Itulah tanda pecinta alam konservatif sejati.
Sama dengan sebuah idiom kata, bila anda sudah beristri
kemudian istri melahirkan anak, buah dari cinta, kemudian anda tinggalkan anak
dan istri anda. Apa yang patut disematkan di muka anda? Sama dengan alam,
setelah anda tanami pohon kemudian anda tinggalkan, gelar apa untuk anda?
Marilah berlatih tanggung jawab bagi kami dan anda semua. Jadilah pecinta
alam konservatif yang tidak hanya menanam, tetapi juga merawat.
Apa
yang kita dapat sih dari pendakian di gunung itu? Apa juga sih enaknya sampai
sampai seneng banget naik gunung?"
Seringnya
kita hanya tersenyum,tak mampu menjawab semua pertanyaan tadi. Sebenarnya
banyak jawaban dan alasan kenapa kita suka naik gunung,tapi semua tak dapat
kita sampaikan hanya dengan kata kata, ingin rasanya kita jelaskan semua tapi
percuma, jika kita tak akan paham betul dengan alasan tersebut. Di gunung kita
belajar hidup mandiri,belajar hidup bersosial, belajar mencintai alam dan
lingkungan, belajar menahan ego kita masing masing, belajar dan belajar.
Pecinta Alam Indonesia Abad 21
Seandainya
pohon bisa memberontak dan bicara tentunya ia bakal menjerit ketika ditebang,
seadainya satwa liar itu bisa bicara tentunya ia bakal menyelamatkan hidupnya,
namun kita sebagai manusia punya mulut, hati, telinga, otak malah diam saja
melihat, mendengar jeritan-jeritan alam yang rusak ditangan kerakusan spesies
manusia seperti kita ini. Apakah kita bangga dengan kekuasaan kita sendiri
sementara kita telah melakukan bunuh diri secara perlahan bersama-sama oleh
perbuatan kita sendiri.
Namun tidak disaat
ini, pencinta alam yang sebenarnya hanya pantas ditunjukan pada masyarakat asli
hutan, organisasi non pemerintah yang peduli terhadap lingkungan dan alam,
individu yang peduli dengan lingkungan hidup lewat kemampuan yang dia bisa,
seperti menanam pohon, membuang sampah tidak sembarangan, tidak memelihara
satwa liar yang dilindungi UU, tidak menebang pohon ditaman nasional dan
disekitar hutan lainnya, naik sepeda, menulis tentang lingkungan, membuat film
tentang hutan dan kelestariannya, dan masih banyak lagi bentuk kepedulian
terhadap lingkungan.
Makna ‘orang
yang suka akan alam’ berarti manusia yang peduli dengan alam dan menjaga
kelestariannya. Dengan menjaga kelesatariannya berarti ia membela nasib hutan
dan satwa liar yang sedang mengalami kepunahan bukan berpetualang menantang
andrenallin naik gunung, memanjat tebing, atau membuka jalur untuk latihan atau
dengan bangga bisa menaklukan alam.
Sejarah memang
harus dipelajari tentang pendirian pencinta alam yang motori almarhum Soe Hok
Gie, Herman Lantang dan kawan-kawan. Di era 60-an memang terjadi pergolakan
masa transisi kemerdekaan. Invansi politik praktis diluar kampus Universitas
Indonesia lewat organisasi dan kesatuan aksi mahasiswa dari berbagai atribut
dan ideologinya berusaha memasuki Universitas. Namun, Almarhum Soe dan
rekan-rekannya tidak peduli dan menjadi kelompok yang tidak memihak dengan
kemelut politik saat itu. Mereka lari ke gunung dan pergi ke tempat-tempat sepi
terpencil. Kalau penulis menyimpulkan contemplasi ala raja-raja Jawa seperti
pendeta-pendeta hinduisme. Mereka paham waktu itu posisi benar-benar terjepit.
Kebersamaan dan pengalaman itulah lahir istilah pencinta alam, yaitu Mahasiswa
Pencinta Alam (Mapala) Prajnaparamita FSUI. Di Tahun 1971 nama Prajnaparamita
dilepas diganti dengan Mapala UI. Alhasil bangsa yang euforia ini bermunculan
organisasi pencinta alam baik dari kampus dan diluar kampus.
Kegiatan mereka
hanya berlarian ke gunung, ke goa, ke tebing hanya untuk menikmati alam. Jaman
abad ini sudah berubah namun masih ada saja organisasi pencinta alam baik dari
kampus dan masyarakat yang bergiat untuk naik gunung, ke goa, arung jeram, ke
tebing atau pendidikan seperti gaya militer, menggampar seenaknya calon peserta
dengan alasan biar berdisiplin seperti militer. Padahal pendidikan ala militer
dewasa ini dengan kekerasan sudah mulai dikurangi.
Pernah penulis
mendengar cerita dari aktivis lingkungan dari negeri yang hutannya sudah hilang
bahwa seandainya gunung itu dipenuhi sampah dan hutannya gundul, iklimnya
panas, sungai dipenuhi limbah pabrik, tebing karst di bom dan batunya diambil
untuk bahan lantai, meja, dan satwa liar yang eksotik punah seperti Harimau
Jawa, Jalak Bali. Apakah organisasi pencinta alam baik itu dikampus maupun
diluar kampus diam saja melihat itu semua.
Memang hutan
Indonesia belum parah meski terlihat parah atau sungai-sungai masih belum
tercemar hingga bisnis olah raga arus deras pun menjamur atau gunung masih ada
tempat menarik meski jauh paling atas, goa-goa masih banyak yang bagus,
tebing-tebing masih menjulang tinggi toh mereka hanya santai-santai saja atau
tidak perduli sama sekali lebih mementingkan event-event kejuaraan atau pelatihan-pelatihan yang tidak ada
hubungannya dengan makna dari pencinta alam. Sangat tragis benar.
Apa ada yang
salah dari Almarhum Soe Hok Gie dan kawan-kawan lamanya hingga penerusnya hanya
mementingkan kepuasaan sesaat atau kode etik pencinta alam Se-Indonesia yang
syahkan bersama dalam gladian ke-4 yang setiap kegiatan wajib dibacakan setiap
kegiatan seperti maksud dari pesannya Pencinta Alam Indonesia adalah sebagai
dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawab kami kepada Tuhan, Bangsa
dan Tanah Air. Dengan kesadarannya mereka (Pencinta Alam) menyatakan pada poin
2 yang isinya memelihara alam beserta isinya menjadi ucapan atau janji tanpa
makna (Lip Service).
Namun hasilnya
pun hutan tetap gundul, satwa liar makin lama makin punah, bencana lingkungan
mulai bermunculan, bahkan pemanasan global yang dibicarakan setiap negara dan
para aktifis lingkungan dari LSM dengan gencarnya mencari solusi. Sedangkan
organisasi yang namanya Pencinta Alam belum menunjukan taringnya untuk peduli
terhadap lingkungan. Bahkan hanya bisa dihitung oleh jari organisasi pencinta
alam yang peduli terhadap lingkungan. Atau menurut saran respon dari pembaca
tulisan Quo Vadis Pecinta Alam yang ditulis penulis mending diganti saja nama
pencinta alam dengan nama jenis petualang. Biar tidak terjadi pembiasan makna
dari kata Pencinta Alam.
Alhasil, makin
sepinya minat pemuda sekarang untuk masuk organisasi pencinta alam. Tradisi
lama masih dipakai tidak ada formulasi-formulasi baru untuk merefleksikan
kegiatan-kegiatannya. Atau organisasi pencinta alam dewasa ini telah bangga
dengan “establishment” (kemapanan). Kebiasaan-kebiasaan lama yang harus ditinggalkan
malah terus diulang-ulang saja seperti pendidikan dengan kekerasan atau
perbedaan yang antara senior dan yunior, pendendaman akibat dari pendidikan
yang keras, menebang pohon untuk simulasi SAR, atau pembukaan jalur. Meski
kecil namun tetap saja kita memberikan pendidikan yang tidak baik terhadap
masyarakat sekitar gunung atau hutan.
Apa tujuan anda
masuk pencinta alam? Ingin mengenal alam lebih dekat. Namun, ketika pendidikan
tidak dikenalkan dengan alam malah disiksa di bentak meski tidak ada kekerasan
fisik, membuka jalur hutan dengan parang seperti kesatria.
Ironisnya,
bencana-bencana alam tidak separah di jaman itu. Namun saat ini kita mendengar
dan merasakan dampak dari penyakit lingkungan seperti pemanasan global, banjir,
longsor, tsunami, belum lagi penyakit-penyakit aneh lainnya. Apa sebagai
pencinta alam terus merenung naik gunung? Apa sebagai pencinta alam masih saja
manjat memenuhi kepuasaan jiwa? Apa sebagai pencinta alam terus menelusuri goa?
Apa sebagai pencinta alam terus pergi keriam berarung jeram melintasi sungai? Apa
sebagai pencinta alam bangga dengan ucapan sebagai penikmat alam?
Waktunya kita
bergabung dan belajar dari organisasi-organisasi non pemerintah, masyarakat
dengan kearifan tradisional sekitar hutan yang peduli terhadap lingkungan untuk
melakukan sinergi bersama mencari solusi tentang kerusakan alam. Ini tugas
semua pencinta alam Indonesia di abad 21 ini. Selain itu, tidak ada salahnya
jika organisasi dan individu pecinta alam melakukan kegiatan-kegiatan diluar organisasi,
sebagai missal mengadakan suatu perlombaan bagi khalayak umum dengan mengambil
tema “alam dan kelestariannya”,melakukan aksi donor darah masal, khitanan
masal,dan masih banyak lagi.
So, let’s do
it!!!
3 Comments
Mas Agus ini pecinta alam po? Semoga juga tidak merokok ya. Mas Agus juga sudah menontonfilm Gie? Wah bagus banget. Mas Agus sudah mendaki gunung apa saja? Cerita dong di blog ini. Kita tunggu tulisan-tulisan berikutnya. Kalau Gunung Ketur sudah didaki apa belum? he he he
ReplyDeleteSayangnya, mahasiswa pecinta alam kita sering kali berperilaku menganiaya alam. Contoh perilaku adalah membuang sampah sembarangan, membuat api unggun sembarangan, membuang puntung rokok juga sembarangan. Coba kalau terjadi kebakaran bagaimana. Mungkin perlu kita galakkan naik gunung sambil membawa kantung plastik sampah. Tidak itu saja, mereka juga buang air besar dan air kecil sembarangan. Bau pesing di mana-mana. Tatang, Magelang
ReplyDeletesalam kenal untuk mas agus , sang penulis..
ReplyDelete"...dan rekan-rekannya tidak peduli dan menjadi kelompok yang tidak memihak dengan kemelut politik saat itu. Mereka lari ke gunung dan pergi ke tempat-tempat sepi terpencil."
menurut saya agak terlalu cepat mas menyimpulkannya.. atas dasar apa mas agus menyimpulkan tidak peduli? sudah membaca catatan harian dan buku-buku lainnya Hok-Gie? lari ke gunung? apa mas tau apa sebenarnya tujuan mereka naik gunung?
salam. Wahyu Adityo Prodjo, anggota Mapala UI
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji