Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

DOSEN VS MAHASISWA: Relasi Sosial Ala Tom and Jerry



Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

Istimewa
Selama ini tulisan-tulisan yang ada lebih banyak berbicara tentang berbagai kiat untuk mengatasi dosen dengan serangkaian karateristik yang unik seperti killer (Nur, 2012), membosankan (Shinta, 2012a, 2012b), pemalas (Hidayat, 2012), suka jual beli nilai (Aryanto, 2013), melakukan pelecehan seksual (Warta Kota, 2008), dan mungkin masih banyak karakteristik aneh lainnya. Tulisan-tulisan tersebut cenderung bernada saran atau nasehat kepada mahasiswa, karena mahasiswa sering merasa dirinya subordinat dan dosen merasa dirinya superior. Posisi subordiant mahasiswa itu ditunjang dengan kenyataan bahwa jumlahnya lebih banyak daripada dosen.
Perbedaan perilaku antara orang-orang yang mempunyai posisi subordinat dan superior itu dapat dijelaskan dengan teori peran sosial (social role theory) dengan tokohnya Alice Eagly (Eagly, Wood, & Diekman, 2000; Galliano, 2003). Berdasarkan teori peran sosial itu, setiap anggota masyarakat tentu mempunyai peran (kategori) tertentu, dan peran itu mempunyai serangkaian persyaratan perilaku tertentu sesuai dengan norma masyarakatnya. Bila ada orang yang perilakunya tidak sesuai dengan peran yang disandangnya, maka ia dianggap menyimpang. Anggota masyarakat yang mempunyai peran dengan posisi subordinat akan mengembangkan kepekaan yang kuat terhadap perasaan atau emosi dari individu pada kelompok superior (Henley & LaFrance, dalam Galliano, 2003). Individu yang mempunyai posisi subordinat cenderung memantau semua perilaku individu dengan posisi superior, demi alasan-alasan tertentu. Alasan-alasan itu antara lain agar ia tidak mendapat hukuman dari individu superior, agar ia mendapatkan kemudahan dalam menjalankan perannya, dan mungkin masih banyak alasan pembenar lainnya. Oleh karena itu, wajarlah bila tulisan-tulisan yang ada justru lebih banyak berisi saran-saran yang ditujukan pada pihak subordinat dalam rangka menghadapi pihak superior.
Tulisan ini tidak ingin menyudutkan salah satu pihak, namun ingin membuat diskripsi tentang persepsi dosen terhadap mahasiswa dan persepsi mahasiswa terhadap dosen. Tujuannnya adalah ingin membuat relasi sosial antara dosen dan mahasiswa menjadi lebih harmonis sehingga tercipta kultur akademik yang membanggakan. Hal ini karena individu dengan peran sebagai mahasiswa sangat dibutuhkan oleh individu dengan peran sebagai dosen. Begitu juga sebaliknya, mahasiswa membutuhkan dosen. Suatu peran ada karena keberadaan peran lainnya. Oleh karena itu kedua peran itu harus bekerja sama.
Predikat killer pada seorang dosen tentu sangat mengerikan bukan karena membunuh mahasiswa secara fisik, tetapi karena dianggap sebagai membunuh masa depan mahasiswa. Berikut adalah persepsi mahasiswa terhadap dosen yang termasuk dalam kategori killer.


§  Melarang mahasiswa mengikuti kuliah karena datang terlambat berdasarkan alasan yang dianggap mengada-ada seperti ban bocor, motor kehabisan bensin, mengantar orangtua ke dokter, menjaga adik di rumah, lupa jadwal kuliah/ujian. Bahkan ada mahasiswa yang dilarang masuk ruang kuliah karena ia berada tepat di belakang dosen yang memasuki ruang kuliah sehingga mahasiswa dianggap datang terlambat. Cara dosen mengusir mahasiswa yang datang terlambat itu antara lain menyuruh mahasiswa menutup pintu ruang kuliah dari luar.
§  Menganggap mahasiswa tidak sopan karena berani menelepon atau mengirim sms pada waktu-waktu yang dianggap tidak lazim seperti malam atau pagi hari. Waktu yang dianggap paling tepat untuk menelepon atau berkirim sms adalah sore hari.
§  Menganggap mahasiswa sangat tolol dengan cara mencoret-coret hasil karya mahasiswa dengan tinta merah yang diiringi komentar-komentar tidak jelas / menyakitkan hati atau justru diberi tanda tanya besar yang tidak dipahami maksudnya.
§  Menganggap mahasiswa sebagai nyamuk penganggu karena mahasiswa selalu mengejar dosen untuk meminta karyanya segera dikoreksi.
§  Menganggap mahasiswa sebagai pihak yang pantas menunggu kedatangan dosen. Bahkan kalau perlu waktu menunggu itu memakai daftar antrian, sehingga mirip antrian di bank. Semakin panjang daftar antrian itu, maka pamor dosen dianggap semakin penting. Bila dosen sudah merasa lelah maka ia boleh mengusir mahasiswa untuk konsultasi lain waktu saja.
§  Mengusir mahasiswa yang datang ke rumah dosen, karena dosen menganggap bahwa urusan kantor tidak boleh dibawa pulang.

Mungkin masih banyak perilaku-perilaku dosen yang menurut mahasiswa termasuk dalam kategori pembunuh masa depan mahasiswa. Bahkan mahasiswa pun mungkin saja akan berdebat tentang kategori perilaku-perilaku killer tersebut. Berikut adalah beberapa persepsi dosen terhadap mahasiswa yang berhasil saya kumpulkan dari berbagai diskusi dengan mahasiswa dan dosen.  

§  Mahasiswa akan dianggap menyebalkan apabila selalu menagih tentang karyanya yang sedang diperiksa oleh dosen. Tagihan dari mahasiswa itu sering membuat dosen seperti terdesak waktunya.
§  Mahasiswa sekarang sangat rendah tingkat sopan santunnya. Hal ini terbukti dari caranya berdiksusi dengan dosen, tidak mau hormat pada dosen dan kalau di kelas senang ribut menimbulkan kekacauan kelas.
§  Mahasiswa tidak dapat dipercaya karena mereka sering menggunakan kesempatan demi keuntungan pribadi. Hal ini terjadi ketika mahasiswa dengan sangat mudah dan tanpa mengindahkan etika melakukan copy paste dari berbagai artikel di dunia maya, kemudian diaku sebagai tulisan miliknya. Mahasiswa telah melakukan plagiat.

Begitu banyaknya ‘dosa’ yang dibuat oleh dosen maupun mahasiswa, telah membuat saya merenung bahwa sesungguhnya mereka berdua telah berperilaku tertentu demi melindungi ego pribadi. Berikut adalah contoh dari perilaku menarik untuk direnungkan dan kemungkinan alasan yang menjadi latar belakang perilaku tersebut (disebut kemungkinan karena sulit membuat konfirmasi kepada yang bersangkutan).

§  Ada dosen yang tidak suka bila dukungan pustaka dari karya mahasiswa berasal dari dunia maya, meskipun sumbernya sudah ditulis dengan lengkap. Alasannya, informasi dari dunia maya kurang dapat dipercaya, dan dosen tidak menginginkan mahasiswa mendapatkan dukungan pustaka secara mudah. Mahasiswa harus merasakan sulitnya mencari dukungan pustaka seperti ia dulu ketika masih mahasiswa. Dampaknya adalah mahasiswa bimbingannya terpaksa ‘berburu’ literatur dan jurnal dari berbagai perpustakaan untuk mendapatkan dukungan pustaka. Hal yang menarik adalah, dosen tersebut jarang menulis atau agak pelit dalam mempublikasikan tulisan-tulisannya. Agak aneh memang, menuntut orang lain berburu literatur sementara dirinya sendiri tidak dapat menunjukkan suri tauladan perilaku.
§  Ada mahasiswa yang berstatus karyawan meminta dispensasi untuk mengikuti ujian susulan (ada beberapa perguruan tinggi yang memberikan kemudahan bagi mahasiswa karyawan sebagai salah satu kebijakan). Setelah diberi kesempatan, ternyata mahasiswa itu menggunakan ujian susulan sebagai kesempatan memperbaiki nilai. Padahal perguruan tinggi setempat memaknai kebijakan ujian susulan adalah sebagai kesempatan untuk mengikuti ujian pada waktu yang berbeda dengan ujian reguler, bukan sebagai sarana untuk memperbaiki nilai. Dalam hal ini mahasiswa telah mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi. Beruntunglah pihak IT (information technology) mengetahui niat buruk itu sehingga dapat dicegah hal-hal yang tidak diinginkan. Agak aneh memang, status sebagai karyawan yang begitu dibanggakannya karena ia tidak korupsi dan tidak pernah melanggar aturan perusahaannya, ternyata justru dilanggarnya pada organisasi lainnya.
§  Ada dosen yang tidak suka bila mahasiswa berperilaku ‘kurang ajar’ menurut ukurannya sendiri. Ia tergolong dosen senior, konservatif, dan selalu mengagungkan dirinya mengenai pengalamannya yang luas. Dalam berinteraksi sosial dengan mahasiswa, ia nampak seperti ingin ‘disembah’ atau dipuja, tetapi ia cenderung meremehkan mahasiswa. Dampaknya mahasiswa menjadi ekstra waspada dan harus selalu berperilaku memujanya. Agak aneh memang, menuntut orang lain menghormati dirinya, sementara ia tidak mau menghormati orang lain. Hal yang menarik adalah kabarnya dosen tersebut mempunyai gelar kebangsawanan yang cukup tinggi. Mungkin pelajaran yang dapat dipetik adalah kebangsawanan hendaknya tidak dicerminkan dari keinginan untuk dihormati tetapi keinginan untuk melayani orang-orang kebanyakan yang berada di luar istana.
§  Ada mahasiswa yang juga mempunyai peran ganda di luar kampus yaitu sebagai pengayom masyarakat karena ia memang mempunyai jabatan terhormat di masyarakat. Dalam berinteraksi sosial dengan dosen di kampus ia tidak segan membentak-bentak dosen bila ia merasa bahwa dosen telah berperilaku tidak sesuai dengan keinginannya. Berdasarkan teori peran sosial (Fisher, 1982; Galliano, 2003), nampaknya ia mengalami konflik peran. Ketika berada di luar kampus ia mempunyai peran superior (pengayom masyarakat), namun ketika berada di dalam kampus ia subordinat (mahasiswa). Ia kebingungan dalam menempatkan diri. Hal yang tidak terduga adalah ia memperlihatkan dua perilaku yang menarik. Pertama, presentasi makalahnya di kampus menyarankan bahwa setiap orang hendaknya melakukan introspeksi dalam berperilaku. Kedua, ia selalu membanggakan pada hampir semua mahasiswa bahwa ia telah ‘menaklukkan’ dosen killer. Agak aneh memang, perilaku dan omongannya tidak sejalan. Pelajaran yang dapat dipetik adalah menjadi pengayom masyarakat itu tidak mudah, karena sebelum melayani masyarakat maka ia harus mampu menaklukkan ego pribadinya. Ia belum menjadi pengayom masyarakat yang perilakunya menjadi suri tauladan.
§  Ada dosen yang perilakunya sangat kontras di depan kelas pada dua pelajaran yang berbeda. Pada pelajaran eksakta, perilakunya cenderung luwes dan menarik hati mahasiswa. Ia mampu membuat hal-hal yang sulit menjadi mudah dipahami. Sungguh dosen tersebut pandai. Pada pelajaran non ekstakta, sebaliknya, perilaku dosen tersebut cenderung kaku dan otoriter. Ia mampu menjelaskan hal-hal mudah menjadi terlihat sulit dipahami. Sungguh aneh dosen yang kontradiktif perilakunya. Mahasiswa mengalami disonansi kognitif (Fisher, 1982) dan sulit menjelaskan bahwa memang ada perbedaan antara omongan dan perilaku pada dosen tersebut. Hal yang menarik adalah ternyata dosen tersebut berperilaku otoriter karena ia tidak menguasai materinya, sedangkan pelajaran eksakta sudah dikuasainya semenjak ia masih berstatus mahasiswa. Pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa perilaku seseorang sebenarnya cerminan dari segala sesuatu yang ada dalam dirinya. Hal ini dapat dengan mudah dijelaskan melalui teori lapangan dari Kurt Lewin bahwa B = f(P, E) (Fisher, 1982). Perilaku (behavior) adalah fungsi dari aspek pribadi (person) dan lingkungan (environment). Ketika lingkungan dipersepsikan tidak menyenangkan (mahasiswa adalah tukang kritik yang pedas) dan dosen tidak memahami materinya, maka perilaku yang diperlihatkan dosen adalah menindas orang lain demi melindungi diri pribadinya. Pesan dari kasus ini adalah sebelum menjadi pendidik hendaknya ia mendidik dirinya terlebih dahulu.

Sebenarnya masih banyak kasus menarik tentang perilaku dosen dan mahasiswa yang belum terungkap dalam tulisan ini. Perilaku mereka berdua menarik untuk diteropong karena mereka mempunyai alasan yang sama dalam berperilaku yaitu melindungi kepentingan ego pribadi. Mereka berdua berjuang dengan sangat keras agar ego pribadinya muncul ke permukaan dengan cara menginjak ego pribadi pihak lainnya. Dampaknya adalah perilaku mereka berdua adalah seperti Tom si kucing dan Jerry si tikus yang selalu bertengkar tidak berkesudahan. Hanya segelintir orang, misalnya orang-orang sufi, yang dapat tertawa terbahak-bahak atau justru bersyukur ketika ego pribadinya diinjak orang lain. Sungguh sulit untuk menerapkan kata-kata bijak ‘ketika pipi kirimu ditampar, maka berikanlah pipi kananmu’, namun itu adalah tantangan spiritualisme. Spiritualisme bukan dalam arti pencapaian gelar kerohanian yang dihormati masyarakat, tetapi lebih kepada kesesuaian antara omongan dan perilaku (Shinta, 2013). Memang sederhana, namun sulit dilakukan. That’s life. Selamat berkarya.


Daftar pustaka:

Aryanto, H. (2013). Cara menghadapi dosen yang maksa beli diktatnya. Retrieved on April 14, 2013 from:
Eagly, A. H., Wood, W., & Diekman, A. (2000). Social role theory of sex differences and similarities: A current appraisal. In T. Eckes & H. M. Trautner (Eds.), The developmental social psychology of gender. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum, (pp. 123-174).
Fisher, R. (1982). Social psychology: An applied approach. New York: St. Martin Press.
Galliano, G. (2003). Gender: Crossing boundaries. Victoria: Thomson Wadsworth, Inc.
Hidayat, T. (2012). Dosen pemalas. Retrieved on April 14, 2013 from http://tempeambon.blogspot.com/2012/12/dosen-pemalas.html
Nur, A. (2012). Cara menghadapi dosen killer. Retrieved on April 14, 2013 from: http://iydhapoex.blogspot.com/2012/03/cara-menghadapi-dosen-killer.html
Shinta, A. (2012a). Benda pada menguap: Kiat-kiat praktis bagi mahasiswa yang merasa jemu di ruang perkuliahan. Kup45iana. Retreved on April 14, 2013 from: http://lintaskampusup45.blogspot.com/2012/10/benda-padat-menguap-kiat-kiat-praktis.html
Shinta, A. (2012b). Strategi mengatasi dosen yang menjemukan. Kup45iana. Retrieved on April 14, 2013 from:
http://lintaskampusup45.blogspot.com/2012/12/strategi-mengatasi-dosen-yang-menjemukan.html
Shinta, A. (2013). Kesenjangan perilaku: Antara kenyataan dan standar norma sosial pada profesi terhormat. Kup45iana. Retrieved on April 14, 2013 from http://lintaskampusup45.blogspot.com/2013/03/kesenjangan-perilaku-antara-kenyataan.html
Warta Kota (2008). UI nonaktifkan dosen yang dituduh berbuat cabul. Kompas.com. Retrieved on April 14, 2013 from
http://nasional.kompas.com/read/2008/10/31/10145287/UI.Nonaktifkan.Dosen.yang.Dituduh.Berbuat.Cabul


Post a Comment

2 Comments

  1. Sepertinya kesenjangan antara mahasiswa dan dosen memang terjadi yah.
    Saya memang masih mahasiswa tapi untung saya tidak termasuk mahasiswa yang suka bikin ulah aneh2 sama dosen.
    Bukan sombong atau apa, tpi semua dosen selalu menghormati saya dan saya selalu menghormati mereka.
    Saya bisa dibilang orang yg konservatif dan selalu tunduk pada yang lebih tua, siapa pun orangnya, bukan karena status yang dipegang olehnya.

    Tapi...
    Ada satu dosen yang senang membuat saya merasa tertekan. Kalau sama mahasiswa lain dia bersikap baik, friendly dan easy going... tapi kalau sama saya. Pasti langsung berubah 180 derajat dan berubah jadi killer, judes, ketus dan "semau gue" bahkan saya jadi stress dn resah kalau pelajaran dia.

    Padahal saya selalu on time ketika ngumpulin tugas, selalu menyimak dan selalu datang sebelum dia masuk kelas.

    Itu beda jauh dibandingkan teman saya yang lainnya. Meski ada yang lebih pinter tapi mereka suka dateng telat, bahkan sebagian suka bikin ulah (berisik)
    Masih untung saya bisa tahan karena saya kan mau dapat ilmu dan dia sebenarnya dosen yang pintar, jadi dia adalah sumber ilmu juga.
    Jadi mau tidak mau harus tahan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hello dear anonymous, wah sedih juga ya bila punya dosen seperti itu. Menjadi mahasiswa = menjadi terdakwa. Pemeo itu benar2 saya rasakan, dan pedih banget rasanya (berdarah-darah). Dosen tersebut berperilaku aneh padamu, karena kau dianggap melakukan suatu kesalahan. Sayangnya, jenis kesalahan itu tidak kau ketahui. Bertanya langsung pada dia? Yah kalau berani tidak apa-apa, namun biasanya ia tidak akan bersedia mengakui bahwa kau membuatnya marah. Ini dia tips untuk menghadapinya.
      1). Kau harus mengkui pada dirimu sendiri (self-acceptance), bahwa kau telah melakukan suatu kesalahan fatal menurut versi dosen itu. Ini sulit banget tapi sangat mungkin dilakukan. Adanya penerimaan diri menunjukkan kau matang dari segi emosi. Ego yang kau junjung tinggi telah diruntuhkan orang lain, dan kau harus berbesar hati menerimanya. Ingatlah, penerimaan diri ini akan menuntun individu untuk mendapatkan solusi.
      2). Setelah penerimaan diri, maka tahap selanjutnya adalah observasi mendetail dan contohlah perilaku mahasiswa berprestasi a.l. datang tidak pernah telat, kumpulkan tugas nomor 1, kualitas tugas sangat tinggi, tidak ramai di kelas, berperilaku yang sopan, duduk paling depan (depan dosen duduk), aktif memberikan solusi / bantuan pada teman pada saat diskusi / saat pengumpulan tugas, cobalah menulis di media massa atau jurnal dan masukkan namamu sebagai salah satu sumber dalam daftar pustaka tugasmu, masukkan nama dosenmu yang killer tadi sebagai salah satu sumber daftar pustaka. Kau cari reviewer yang pintar untuk beri komentar pada tugasmu. Kalau perlu, tulislah tugas itu dalam bahasa Inggris yang baik dan benar. Dampaknya adalah tidak ada alasan bagi dosen itu untuk beri nilai E (tidak lulus). Ingatlah, jangan kau bandingkan perlakuan yang kau terima dari dosen itu dengan perlakuan yang diterima teman-temanmu. Pasti tidak adil, karena kau dianggap bersalah dan temanmu tidak bersalah. Masukkan pesan dalam benakmu, bahwa kau HARUS menaklukkan dosen itu. Kau harus gigih, telaten, dan sabar terus. Dia memang sedang menunggu potensi terbaikmu untuk keluar. Jadi persiapkan dirimu.
      3). Bila semua usaha sudah kau keluarkan dan nilaimu tetap C (lulus, tapi rendah score-nya), terimalah. Hal ini karena yang dipentingkan mahasiswa adalah lulus, bukan menghadapinya terus menerus tanpa batas. Segera ambil mata kuliah lainnya. Bila mata kuliah lainnya juga dipegang dosen tersebut, maka tips nomor 1 dan 2 diulangi lagi ya.
      4). Ingatlah, bahwa orang yang sukses adalah bukan yang terpandai atau terkuat, tetapi yang paling bisa menyesuaikan diri pada perubahan. Jangan lupa berdoa ya. Kirim doa yang baik-baik pada dosen itu, dan rejeki yang seharusnya untuk dosen itu akan pergi ke pangkuanmu. Ini pendekatan spiritual, yang sering saya alami.
      Ok salam sukses untukmu. Hidup itu memang tidak mudah. as

      Delete

Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji