Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Menjemput pagi di Panti Depok_Finta_egik (Foto : Elisa) |
Apa pacaran itu?
Pacaran ialah kegiatan berkasih-kasihan
antara seorang perempuan dan laki-laki yang sedang jatuh cinta. Pacaran ini
merupakan bentuk dari dorongan dasar manusia yaitu kebutuhan untuk dicintai
atau kebutuhan untuk berafiliasi. Pacaran yang sehat yaitu kegiatan
berkasih-kasihan tersebut dilakukan dengan tidak melanggar norma-norma susila,
etika, moral dan kepatutan sosial.
Apa saja norma pacaran itu?
Rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar
oleh orang yang berpacaran terbagi menjadi tiga yaitu yang menyangkut fisik,
psikhis, dan sosial. Larangan yang menyangkut fisik yaitu yang erat hubungannya
dengan kegiatan erotis atau seks. Kegiatan erotis ini hendaknya tidak dilakukan
pada masa pacaran, karena akan mengaburkan ketajaman seseorang dalam menilai
karakter pasangannya. Pasangan yang sudah melibatkan kegiatan seks pra nikah,
cenderung ingin mengulangi perbuatan-perbuatan erotis tersebut dengan frekuensi
dan kualitas yang semakin lama semakin tinggi. Dalam hal ini berlakulah prinsip
belajar. Bila suatu perbuatan mendatangkan kenikmatan tanpa adanya sanksi, maka
perbuatan itu cenderung diulangi lagi. Ketika perbuatan tersebut mendatangkan
kenikmatan, maka individu cenderung meningkatkan taraf kenikmatan itu. Sampai
kapan hubungan seks pra nikah ini selesai? Biasanya hubungan seks pra nikah itu
akan berakhir kalau sudah mendatangkan rasa tidak nyaman, misalnya kecemasan
atau rasa bersalah yang mendalam, atau teror dari pasangannya karena telah
terjadi kehamilan di luar perkawinan.
Larangan kedua pada masa pacaran erat
hubungannya dengan norma-norma sosial. Hal itu antara lain meliputi waktu
bertandang yang bisa diterima oleh lingkungan sosial. Pukul 9 malam sering
dijadikan batas waktu bertandang yang pantas dalam berpacaran. Selanjutnya,
waktu bertandang hendaknya dilakukan di ruang tamu dan hindarkan kamar tidur. Kalau
pun ingin bepergian berdua, maka hindarkan tempat-tempat yang memberi kesempatan
luas untuk melakukan perbuatan erotis, seperti tempat yang sepi, tampat yang
gelap, tempat yang dipenuhi dengan orang-orang yang perilakunya dianggap tidak
sesuai dengan norma sosial (misalnya diskotek, club, atau pub).
Larangan ketiga pada masa pacaran erat
hubungannya dengan perkembangan psikhis masing-masing pihak. Orang yang
berpacaran tentu menginginkan pergi kemana pun selalu berdua. Situasi ini
sering memicu timbulnya rasa ingin memiliki pasangannya. Bilamana rasa ingin
memiliki ini berada pada tingkat tinggi maka hal itu disebut possesiveness. Hal ini akan menimbulkan
perilaku-perilaku yang tidak menyenangkan seperti larangan untuk berambut
pendek untuk pihak perempuan, larangan bertemu dengan teman-teman lain,
larangan untuk mengikuti ujian akhir, larangan berkumpul dengan keluarga, dan
masih banyak larangan aneh lainnya. Larangan-larangan itu akan untuk
menumpulkan potensi-potensi masing-masing pihak. Sungguh sayang bila hal itu
terus dipertahankan ketika berada dalam situasi pacaran, sebab larangan itu
bersifat mengekang. Pihak yang sering melarang biasanya adalah pihak yang
merasa tidak percaya diri, merasa takut ditinggalkan, dan merasa terancam.
Apa tujuan pacaran?
Tujuan pacaran ialah untuk mengadakan
seleksi dalam memilih pasangan yang paling sesuai, dan kemudian untuk mengenal
lebih jauh tentang calon pasangan hidup itu baik aspek positif maupun
negatifnya, mengenal perbedaan dan persamaan tanpa harus memaksa pasangan itu
untuk mengubah perbedaan menjadi persamaan. Bila proses pengenalan pasangan ini
tidak teliti atau diremehkan karena adanya anggapan bahwa perubahan perilaku
bisa dilakukan kelak kalau sudah menikah, maka perkawinan yang akan terjadi
besar kemungkinannya akan berakhir dengan perceraian.
Apa saja yang harus diselidiki pada masa pacaran?
Berpacaran adalah masa emas bagi kedua
belah pihak untuk menjajagi berbagai aspek yang kelak sangat berperan dalam
kehidupan perkawinan. Masa penjajagan ini tidak dimaksudkan untuk mengubah
pasangan dan keluarga besarnya, tetapi untuk mengetahui / mengidentifikasikan
kesesuaian pada dua orang yang sedang berpacaran itu. Hal-hal yang perlu
diperhatikan yaitu:
1.
Asal-usul dan latar belakang keluarga. Latar belakang keluarga ini akan
memperlihatkan bagaimana sesungguhnya kualitas pasangan kita. Latar belakang
ini juga berguna untuk mengetahui:
- Status dari calon pasangan kita yaitu belum menikah, sudah pernah menikah dan sekarang tidak lagi (janda atau duda), atau justru sedang menjalani perkawinan. Bila berada dalam status janda / duda dan sudah mempunyai keturunan, maka persetujuan ikatan perkawinan juga harus melibatkan anak. Bila sedang menjalani perkawinan, berarti kita akan memasuki perkawinan jenis poligami atau poliandri. Sudah sangat banyak kasus orang yang merasa ditipu, karena pasangannya itu ternyata sudah berkeluarga padahal ia mengakui masih bujangan.
- Kedekatan calon kita dengan orangtuanya. Bila pasangan kita dekat dan tergantung pada figur ibu, maka ia kemungkinannya akan menuntut kita menjadi pengganti ibunya. Demikian pula bila ia dekat, memuja dan tergantung pada ayahnya, maka ia cenderung akan menuntut kita menjadi seperti ayahnya. Tuntutan semacam ini kadang kala tidak masuk akal, tetapi sangat mungkin terjadi. Kasus yang pernah dijumpai yaitu seorang gadis diminta membantu memasak di keluarga pihak laki-laki. Nampaknya situasi ini adalah semacam ujian untuk memastikan ketrampilan gadis itu dalam memasak. Sayangnya, hasil masakannya ternyata kurang memuaskan, sehingga pihak laki-laki mengurungkan niatnya untuk menikah. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah komitmen dalam perkawinan hanya diukur dengan ketrampilan memasak? Tentu tidak ada jawaban yang memuaskan namun kasus nyata tersebut dapat menajdi bahan kajian demi mempersiapkan diri bila hal itu terjadi pada kita.
- Kebiasaan-kebiasaan dalam keluarga. Kebiasaan ini erat hubungannya dengan pola asuh yang diterapkan orangtua terhadap anaknya. Contoh kebiasaan yang mungkin sepele adalah cara makan. Cara makan yang berkecipak (berbunyi) mungkin dianggap lumrah, namun dalam hidup perkawinan hal itu dianggap memalukan dan topik yang bisa dipertengkarkan.
- Budaya dalam keluarga. Meskipun kita dan pasangan berasal dari budaya yang sama, namun kita tetap perlu menilai dan menyelidiki budaya serta adat dari keluarga calon pasangan kita. Pemahaman tentang budaya keluarga mutlak perlu dilakukan bila kita dan pasangan berasal dari budaya yang berbeda.
- Jumlah anak dalam keluarga calon pasangan kita. Mungkin saja keluarga calon kita termasuk berukuran besar (keluarga besar). Kalau hal ini terjadi, maka kelak bila sudah dalam ikatan perkawinan maka kita akan diminta untuk berpartisipasi menyumbang uang bagi sauara-saudaranya terutama kalau status sosial ekonomi saudara-saudaranya itu rendah.
- Status sosial ekonomi keluarga besar calon pasangan kita. Mungkin saja keluarga besar calon pasangan kita mempunyai sejarah kelabu (misalnya bekas nara pidana, koruptor, keluarga teroris, dan sebagainya). Kalau hal ini terjadi maka kita harus mempersiapkan mental untuk tidak malu. Demikian juga bila keluarga besar kita adalah orang terkenal (public figure), maka kita juga harus mempersiapkan mental untuk selalu dikejar-kejar wartawan serta situasi perkawinan kita akan terseret-seret oleh keluarga besar pasangan sehingga diberitakan di media massa.
2.
Agama. Agama yang dianut oleh pasangan kita akan sangat
mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu sangat disarankan pernikahan
hendaknya dilandasi oelh persamaan agama. Pernikahan yang dilandasi oleh
perbedaan agama sangat rawan terjadi perpecahan, meskipun perkawinan beda agama
yang harmonis pun tidak sedikit jumlahnya. Perkawinan beda agama membutuhkan
ruang toleransi yang luas. Perkawinan beda agama juga rawan konflik, terutama
bila melibatkan anak-anak. Anak akan kebingungan sebab ia tidak tahu harus
memilih figur model ayah dengan agama A atau ibu dengan agama B. Kasus yang ada
adalah anak perempuan mengikuti agama ibu, dan anak laki-laki mengikuti agama
ayah. Dampak yang terjadi adalah keluarga menjadi bingung dalam melakukan
ritual-ritual keagamaan.
3.
Kesehatan. Perlu diselidiki apakah calon kita mempunyai
riwayat kesehatan yang erat hubungannya dengan genetika. Sebagai contoh
penyakit kencing manis, erat hubungannya dengan genetika. Seseorang yang
menderita kencing manis mungkin akan mengalami kesulitan dalam proses
melahirkan. Oleh karena itu bila calon kita mempunyai riwayat kesehatan yang
mencemaskan, maka kita harus mempersiapkan diri pada kemungkinan yang paling
buruk yaitu ditinggal oleh pasangan kita seumur hidup.
4.
Pendidikan. Bila memilih pasangan, hendaknya tingkat
pendidikannya seimbang atau perbedaannya sedikit. Memang pendidikan yang tinggi
bukan jaminan mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan tinggi, tetapi
pendidikan tinggi erat hubungannya dengan cara berpikir yang lebih luas dan
bertoleransi. Perbedaan pendidikan yang terlalu jauh akan membuat suasana
diskusi antar pasangan itu menjadi tidak menyenangkan.
5.
Hobi dan kebiasaan. Kenalilah hobi dari calon pasangan itu,
sebab mungkin saja hobi pacar itu tidak kita sukai. Rasa tidak suka terhadap
hobi pasangan itu mungkin saja berdasarkan pertimbangan keuangan. Hal ini
terjadi misalnya pada hobi olah raga golf, yang memang membutuhkan biaya sangat
mahal. Rasa tidak suka terhadap hobi pasangan juga bisa berdasarkan perbedaan
selera. Pasangan senang dengan kegiatan di luar rumah padahal kita senang
dengan kegiatan di dalam ruangan. Selanjutnya tentang kebiasaan calon pasangan
juga perlu diketahui dengan cermat, misalnya kebiasaan merokok, menggunakan
obat penenang, jarang mandi, terlalu pembersih, makan berkecipak, suka makan
jengkol, dan sebagainya. Pemahaman tentang hobi dan kebiasaan secara rinci akan
mendukung terjadinya keputusan yang akurat tentang keberlangsungan proses
pacaran ini. Semakin kita tidak mengenal hobi dan kebiasaan pasangan kita (terutama
yang berkonotasi negatif), maka semakin kita akan dihadapkan pada situasi tidak
menyenangkan pada saat perkawinan kelak.
Bagaimana mengenal lebih jauh tentang pasangan dalam pacaran
ini?
·
Cara-cara mengenal lebih jauh tentang pasangan itu yaitu masing-masing
pihak hendaknya memahami bahwa pacaran, termasuk pertunangan, tidak selalu harus
berakhir dengan perkawinan. Dalam proses pemahaman kosep tersebut, maka
masing-masing pihak justru dianjurkan untuk bertengkar (Surbakti, 2008). Hal
ini penting untuk menguji ketahanan mental masing-masing pihak. Melalui
pertengkaran setiap pihak akan memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya. Pertengkaran
adalah salah satu instrumen seleksi penentuan pasangan yang tepat. Pasangan
yang menghindari pertengkaran adalah pasangan yang menutupi, menunda,
memanipulasi dan menghindari masalah yang akan meledak setelah pernikahan.
Tidak selalu pertengkaran dalam masa pacaran bersifat negatif. Hal ini karena
pasangan yang berhasil menyelesaikan pertengkaran adalah pasangan yang berhasil
mengelola perbedaan menjadi lebih produktif. Dengan adanya pertengkaran (berani
bertengkar) maka hal itu telah membuat keadaan menjadi lebih setara, karena
masing-masing pihak tidak takut untuk kehilangan.
·
Bertengkar pada masa pacaran adalah jauh lebih aman daripada
pertengkaran pada masa perkawinan. Hal ini karena pada saat pacaran, pasangan
yang bertengkar akan mempunyai masa jeda yaitu pulang ke rumah masing-masing
dan tidak perlu menghadapi muka yang bersungut-sungut dari pasangannya meskipun
topik yang dipertengkarkan belum selesai. Masa jeda ini sangat berguna bagi
masing-masing pihak untuk menenangkan diri dan mencari alternatif bagi
penyelesaian topik yang dipertengkarkan. Pada masa perkawinan, sebaliknya,
pasangan yang bertengkar tidak mempunyai masa jeda sehingga tetap harus
menghadapi beban ganda yaitu wajah pasangannya yang bersungut-sungut setiap
saat, persoalan yang belum selesai, dan dampak langsung dari pertengkaran itu
yang biasanya menimpa anak-anaknya.
·
Strategi selanjutnya yang dapat dicoba untuk mengenal lebih
jauh calon pasangan kita adalah dengan mengajaknya terlibat dalam suatu proyek.
Proyek itu tidak selalu harus berduit dan serius. Proyek itu misalnya
bersama-sama mengerjakan tugas akhir sekolah, berwirausaha, mengajar les di
panti asuhan, berorganisasi di himpunan mahasiswa, menyelenggarakan lomba di
kampus, menyelenggarakan lomba menjelang 17 Agustus, dan masih banyak kegiatan
lainnya. Keterlibatan dalam proyek semacam itu merupakan kesempatan bagi
masing-masing pihak untuk menakar ketangguhannya, kedisiplinannya, sikap
terhadap uang, kejujurannya, dan kesediaan berbagi dengan pasangannya.
Apa saja ciri-ciri tanda bahaya pada pasangan?
Beberapa tanda berikut merupakan sinyal
bahaya yang seharusnya membuat kita berani meninggalkan pasangan kita. Apabila
tidak segera diputuskan relasi sosial ini, maka nasib kita dalam perkawinan
akan semakin buruk.
·
Kekerasan fisik, psikhis, dan sosial. Apabila pasangan kita
sudah menunjukkan kekerasan fisik (memukul, menampar), psikhis (mengancam akan
memutus hubungan bila kita tidak bersedia menuruti kemauannya), sosial
(mencuri, mengganggu tetangga secara kriminal, melanggar norma sosial sehingga
dikucilkan lingkungan sosial), maka sebaiknya kita meninjau kembali relasi sosial yang sudah terjalin.
·
Penggunaan narkoba dan minuman keras. Pasangan yang telah
berhubungan dengan narkoba dan minuman keras (pengguna atau pengedar), adalah
tanda bahaya bagi kelancaran relasi sosial. Sangat disarankan relasi sosial
dengan orang-orang berbahaya ini segera diputus. Janganlah relasi sosial yang
kita rajut berdasarkan asas belas kasihan.
·
Selalu mengajak hubungan seksual pra nikah. Orang yang sayang
dengan kita seharusnya ikut menjaga organ-organ reproduksi kita, bukan
melampiaskan nafsu syahwatnya. Dalam hal ini, perempuan selalu berada pada
pihak yang kalah dan rugi, karena adanya konsekuensi berat seperti stigma dari
masyarakat, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi ilegal yang mungkin saja
akan membahayakan nyawa, terputusnya pendidikan, terganggunya jadwal kerja, anak
yang dilahirkan tidak mendapatkan hak-hak semestinya, serta menurunnya kualitas
psikhis dan fisik pada anak yang baru dilahirkan.
Sebagai penutup dari tulisan ini, perlu
ditekankan lagi bahwa tidak menikah bukan merupakan dosa atau pelanggaran
hukum. Tidak menikah tidak berarti seseorang harus masuk penjara. Kalau pun
menikah bukan berarti jaminan seseorang akan hidup dengan mulia. Menikah dan
berpacaran adalah pilihan, karena hidup itu isinya serangkaian pilihan. Tidak
memilih pun juga merupakan suatu pilihan hidup alias kebimbangan. Silakan
memilih, dan terimalah semua konsekuensi yang mengikutinya.
Reference
Surbakti, E.B. (2008). Sudah siapkah menikah?. Jakarta: Pt. Elex Media Komputindo Kompas Gramedia. Hal.
2 Comments
top markotop bu Shinta
ReplyDeletewah jadi pingin mudah lagi nih....
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji