Oleh: Nurul Istiyani
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi
45
Anak
laki-laki memang diciptakan berbeda dengan anak perempuan. Perbedaannya dapat
dilihat dari segi fisik dan perlakuaanya di lingkungan. dilingkungan sekolah
dan dilingkungan rumah pun juga mengalami perbedaan perlakuan. Dalam budaya
tradisional orang tua, guru dan lingkungan sekitar selalu memandang anak
laki-laki dan anak perempuan dari peran gendernya. Anak laki-laki harus
berperan maskulin dan anak perempuna harus berperan feminism. Perlakuan yang
membatasi anak harus berperan sesuai gendernya sudah menjadi sesuatu yang
membudidaya. Jadi, apabila anak laki-laki dan perempuan berperan tidak sesuai
peran gendernya maka akan mendapat sanksi dari lingkungan. adanya perlakuan
seperti ini membuat anak menjadi terbiasa dan kaku dalam pemilihan minatnya.
Minat akan mainan, cita-cita, warna kesukaan dansebagainya.
Minat
anak dilingkungan rumah. Anak diarahkan oleh orang tua dalam hal memilih
mainan, cita-cita, mata pelajaran diarahkan untuk sejalan dengan peran
gendernya. Orang tua menganggap prestasi juga lebih tinggi pada anak laki-laki.
Di bidang mata pelajaran anak perempuan diarahkan untuk menyukai pelajaran
bahasa. Anak laki-laki diarahkan untuk menyukai pelajaran matematika. Hal ini
karena pelajaran bahasa dianggap orang tua sesuai untuk anak perempuan. Orang
tua menganggap anakperempuan mempunyai bakat dalam bidang bahasa daripada anak
laki-laki. Sebaliknya, anak laki-laki dianggap lebih kompeten dalam mata
pelajaran matematika, karena pelajaran
berhitung itu dianggap pelajaran maskulin.
Minat
anak dilingkungan sekolah. Guru disekolah secara tidak sadar menganggap bahwa
anak laki-laki lebih unggul daripada anak perempuan. Anak laki-laki lebih mempunyai
kesempatan berkompetensi daripada anak perempuan. Hal ini karena pandangan
bahwa anak laki-laki lebiih bersifat rasional dan anak perempuan lebih bersifat
emosional. Dari pandangan tentang pelajaran, pelajaran matematika dianggap
sebagai pelajaran yang maskulin. anak laki-laki dianggap oleh guru lebih
kompeten dibidang matematika dengan cara berpikirnya yang rasional. Guru yang
mengajar matematika pun dianggap lebih berkompeten apabila guru tersebut
laki-laki. Padahal, diluar ada juga anak perempuan yang berkompeten di bidang
matematika. Namun, hal tersebut dianggap hanya sebagian kecil saja dari bagian
anak laki-laki yang berkompeten dibidang tersebut. Pandangan tentang pelajaran
matematika sebagai pelajaran maskulin pun sampai sekarang masih membudidaya.
Adanya pandangan yang seperti ini membuat anak tidak bisa leluasa dalam hal
pemilihan minatnya. kemampuan anak tidak bisa berkembang secara optimal
Referensi:
Hurlock,
B.E. (1999).Psikologi perkembangan suatu
pendekatan sepanjang rentang kehidupan. (penerjemah
Istiwidayanti&Soedjarwo). Jakarta: Penerbit Erlangga
Sears,
O. D., Jonathan, L. F., & Anne, L.
P. (1994). Psikososial.
(penerjemah Michael Adryanto). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Chionodou,
M. M & Lekka, K. C. (2006). Teachers’ perceptions about gender differences
in greek primary school mathematics classrooms.
Campbell,
P. P & Jenifer, N. S. (1994). Girls Are… Boys are…: Myths, stereotypes and
gender differences. Office of educational research and improven U.S. department
of education Richard W. Riley, Secretary.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji