Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Genius Memang Dambaan Tapi Bukanlah Segalannya



Nurul Istiyani
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Genius menjadi tolak ukur kemampuan seseorang di era globalisasi.  Masih banyak orang tua yang mendambakan anak-anaknya menjadi pintar dalam hal akademik. Anak yang memperoleh nilai tidak baik, orangtua membawanya ke tempat les, anak dipaksa belajar agar memperoleh prestasi akademik. Bahkan, ada juga orang tua yang membawa anaknya ke biro yang bisa menyulap kemampuan IQ anak menjadi naik drastis (biro pengaktifan midbrain). Anak diharapkan dapat meraih nilai akademik yang unggul. Apabila anak mereka unggul dibidang akademik, orangtua mempunyai kebanggan tersendiri.
Memaksakan anak menjadi genius itu bukanlah pilihan yang tepat. Apalagi memasukkan anak ke biro pengaktifan midbrain. Secara ilmiah belum ada temuan yang menyatakan bahwa mengaktifkan midbrain, kemampuan IQ bisa naik drastis. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan selama 10 tahun terakhir dengan menggunakan objek binatang dan relawan manusia, menyatakan hasilnya tidak signifikan antara kecerdasan IQ dengan fungsi pengaktifan midbrain. Midbrain merupakan bagian terkecil dari otak yang berada diantara otak kanan dan otak kiri. Midbrain ini berfungsi untuk mengontrol fungsi penglihatan dan pendengaran. Dampak dari pengaktifan midbrain ini dapat mengubah pola kinerja denyut jantung, tekanan aliran darah menjadi lemah dan terganggunya fungsi pernafasan. Mereka bermaksud mengaktifkan midbrain untuk mengaktifkan sensitivisme anak menjadi meningkat. Sehingga, anak dapat mempunyai kekuatan seperti dapat menerawang sesuatu yang akan terjadi besok. Anak juga dapat melihat barang dengan mata tertutup. Sensitivisme yang berlebihan seperti ini akan membuat anak terganggu. Mereka bisa menerawang yang terjadi besuk, dengan begitu anak sudah memiliki kecemasan yang tinggi pada kejadian yang terjadi besuk. Apabila hal ini dibiarkan berlarut, ketenangan jiwa anak terganggu. Akibatnya bisa berakhir kematian mendadak, akibat lemahnya tekanan darah berbanding dengan semakin cepatnya denyut jantung akibat pengaktifan midbrain. Selain itu, anak dapat menderita schizophrenia (Grace, 2010).
Orangtua dan lembaga pendidikan memperhatikan kemampuan logika pada anak saja. Banyak sekolah atau perusahaan yang mematok standar nilai tinggi dalam perekrutan. Cara seperti ini bagi beberapa orang tidak adil bagi mereka. Manusia diciptakan secara kodrati, otak sebagai pusat sistem kerja tubuh. Otak manusia terdiri dari dua bagian yaitu otak kanan dan otak kiri. Otak kiri berfungsi untuk berpikir secara logika, menganalisa, kemampuan yang berhubungan dengan hitungan dan bahasa. Kemampuan otak kiri ini biasanya dapat dilihat dari nilai akademik individu atau hasil dari tes IQ. Otak kanan berfungsi sebagai otak yang mengembangkan kreativitas, mengatur emosi individu, intuisi kemampuan reflek dan segala sesuatu yang berhubungan dengan seni. Fungsi otak kanan ini biasanya untuk mengatur EQ seseorang.
Disadari atau tidak pendidikan sekarang lebih menekankan pada fungsi kinerja otak kiri. Orang yang dominan otak kiri mereka akan mendapatkan nilai unggul dalam akademik dan logika. Kekurangan individu yang terlalu dominan otak kiri menjadikan individu tersebut kurang bisa mengendalikan emosi mereka. Mereka cenderung merasa benar, egois dan dominan. Seseorang yang unggul dibidang akademik belum menjanjikan mereka berhasil apabila tidak diimbangi dengan mengontrol ego mereka. Kebiasaan yang baik yaitu memperdayakan kedua fungsi otak kanan dan kiri secara seimbang. Biasanya orang yang terlalu tinggi nilai IQ (akademik) mempunyai kontrol ego yang kurang bagus. Hal ini terjadi karena individu ini kurang memberdayakan fungsi otak kanan. Sehingga, otak kanan menjadi melemah kinerjanya. Oleh sebab itu, genius bukanlah sesuatu yang wajib, melainkan menyeimbangkan kinerja otak kanan dan kiri agar keseimbangan hidup terjamin.


Sumber :
Grace, C. 2010. Mengaktivasi Otak tengah? Pikirkan dulu bahayanya. Human resources and smart family consultant. Retrieved on May, 4, 2014