Susanti & Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Sampah elektronik ialah bahan atau barang elektronika yang terbuang,
tersisa atau tidak terpakai lagi oleh manusia. Sampah elektronika tersebut tergolong
bahan berbahaya dan beracun (B3). Hal ini karena sampah elektronika dapat
mencemari lingkungan dan membahayakan manusia jika dibiarkan terpapar di
lingkungan tanpa pengelolaan yang sesuai. Contoh sampah elektronika antara lain
baterai, aki, telepon selular, televisi dan pendingin ruangan yang sudah rusak.
Sampah elektronika tersebut mengandung bahan yang berbahaya bagi manusia yaitu timbal
dan dan polychlorinated biphenyl
(PCB).
Oleh karena Indonesia belum mempunyai fasilitas daur ulang khusus sampah
elektronika, maka volume sampah elektronika semakin lama semakin tinggi. Data
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2014, tercatat 19.300 ton
sampah elektronik dari sekitar 2.000 industri besar. Data tersebut belum
termasuk data dari sektor rumah tangga dan industri kecil-menengah. Fasilitas
yang tersedia di Indonesia hanya tempat pemisahan sampah elektronika. Di
Indonesia, hanya ada empat tempat pemisahan sampah elektronik. Tiga tempat
berada di Jawa dan satu lagi berada di Batam. Komponen sampah elektronik yang
masih bisa digunakan, seperti plastik dan tembaga, dipisahkan lalu diekspor ke
Singapura untuk didaur ulang.
Ketika fasilitas daur ulang sampah belum tersedia, maka apa yang biasa
dilakukan oleh masyarakat untuk mengurangi sampah elektronika? Cara yang lazim
dilakukan adalah membakar sampah. Saat dibakar, PCB menghasilkan dioksin yang
mengganggu organ pernapasan. Material PCB yang terurai dan terakumulasi memicu
kanker (karsinogen).
Sebenarnya tanggung jawab siapa pengelolaan sampah elektronika itu?
Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi,
mengatakan bahwa sampah elektronik semestinya menjadi tanggung jawab industri
elektronik. Cara yang bisa dilakukan industri elektronika adalah membeli
kembali produk elektronik yang sudah tidak digunakan lagi oleh konsumen. Hal
ini juga sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga. Peraturan
tersebut mengharuskan setiap produsen (penghasil limbah) melakukan extended producer responsibility (ERP)
yang berarti menarik kembali sampah yang dihasilkan untuk didaur ulang.
Kealpaan industri elektonika di Indonesia tentang daur ulang sampah
elektronika, ternyata telah memunculkan ide untuk membuat usaha daur ulang
sampah elektronika yang dikelola oleh pihak swasta. Sekitar pertengahan Maret
lalu, PT Mitra Kersa Artha yang berlokasi di Jakarta, telah meluncurkan program
Ecocash. Ecocash adalah layanan daring yang siap membeli sampah elektronik
untuk didaur ulang. Keberadaan perusahaan yang mengkhususkan pada daur ulang
sampah elektronika ini, tentu saja membantu masyarakat dan
perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Apa hubungan antara artikel tersebut dengan psikologi lingkungan?
Artikel tersebut menginspirasi bahwa kita hendaknya betul-betul memperhitungkan
dampaknya bila akan membeli barang-barang elektronika. Kata-kata bijak seperti
“Membeli sesuai kebutuhan bukan keinginan” hendaknya diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Apabila kita semua menerapkan kata-kata bijak tadi, maka pada
hakekatnya perilaku kita sudah sesuai dengan prinsip pengelolaan sampah yaitu
3R (reuse/ menggunakan kembali, reduce / mengurangi, dan recycle / mendaur
ulang).
Sumber tulisan:
Kompas. (2015). Indonesia tanpa pusat daur ulang. Kompas, 19 Maret.
1 Comments
thank info gan
ReplyDeletetitip link ya gan :)
https://www.facebook.com/interiorjakarta
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji