METODE BELAJAR YANG MEMBUMI PADA PSIKOLOGI LINGKUNGAN
(PELAJARAN WAJIB PADA FAK. PSIKOLOGI UP45)
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Menyuruh mahasiswa
mempraktekkan ilmu yang diterima di bangku kuliah dalam kehidupan sehari-har, ternyata
tidak gampang. Hambatannya antara lain mahasiswa merasa belum lulus S1 sehingga
mereka merasa belum perlu mempraktekkan ilmu dalam perilaku sehari-hari.
Hambatan yang lain adalah malas, tidak memahami pengetahuan yang diterimanya
namun malu bertanya, tidak percaya diri, dan tidak membutuhkannya. Mengapa
mahasiswa tidak membutuhkan praktek ketrampilan / pengetahuan? Mahasiswa lebih
membutuhkan nilai daripada terampil dan berpengetahuan luas dalam bidang
psikologi. Hal ini bisa dibuktikan ketika mahasiswa mendapatkan nilai C atau D,
maka responnya adalah menyalahkan dosen. Mahasiswa merasa ia harus mendapatkan
nilai A untuk semua pelajaran.
Saya merenung, bila
semua mahasiswa pada semua pelajaran ingin mendapatkan nilai A, maka ada dua
kemungkinannya. Pertama, dosennya bodoh, takut pada mahasiswa dan tidak bekerja
dengan benar (misalnya memeriksa hasil ujian mahasiswanya) sehingga semua
mahasiswa mendapat nilai A. Kemungkinan kedua, kurikulum atau materi
pelajarannya sangat mudah sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Sebagai contoh, bila mahasiswa diberi pelajaran matematika sederhana, pasti
semuanya mampu mengerjakan dengan benar. Tidak bisa dibedakan antara mahasiswa
pandai dan yang bodoh. Situasi yang ada pada dosen ini membuat mahasiswa juga
malas untuk mempraktekkan ilmu yang diperolehnya di bangku kuliah.
Hal sebaliknya,
bila pada kenyataannya mayoritas mahasiswa mendapat nilai C atau D, maka hal
itu juga menghambat mahasiswa untuk menerapkan pengetahuan dalam kehidupan
sehari-hari. Mahasiswa merasa penerapan ilmu tidak ada gunanya, dan mungkin juga
merasa dendam pada dosennya. Mahasiswa merasa sudah mematuhi semua instruksi
dosennya yaitu rajin masuk kuliah, mengerjakan tugas tepat waktu, mengerjakan
ujian sebaik-baiknya, tidak mencontek, namun nilainya tetap saja C atau D.
Dosen dituduh sebagai subjektif dalam memberikan nilai. Hanya mahasiswa
tertentu saja yang mendapatkan nilai A atau B. Jadi untuk apa mempraktekkan
psikologi dalam kehidupan sehari-hari?
Hambatan-hambatan penerapan
praktis psikologi dalam kehidupan
sehari-hari yang datang baik dari mahasiswa, dosen, atau kurikulumnya, jelas-jelas
akan merugikan mahasiswa. Ketika lulus kelak, para alumni akan kebingungan
menentukan apa saja yang akan dilakukannya. Mereka tidak tahu cara-cara menjadi
karyawan yang baik, selain hanya datang tepat waktu, senyum-senyum pada rekan
kerja, dan sedihnya, hanya menunggu perintah saja dari atasan. Semua itu tidak
ada yang keliru, hanya perilaku-perilaku tersebut sangat kurang bagi para alumni
Psikologi UP45 yang kini mendapat
gelar sebagai generasi Y (orang-orang yang lahir sekitar tahun 1990an-2000an).
Orang-orang yang bergen Y, dituntut untuk kreatif, multi tasking (mampu mengerjakan beberapa tugas sekaligus), dan sangat
literate dengan alat-alat komunikasi
mutakhir.
Mengantisipasi
hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, maka materi pelajaran Psikologi Lingkungan
di Fakultas Psikologi UP45 disusun lebih
membumi. Tujuannya adalah mahasiswa menjadi lebih menghayati tentang perilaku
peduli pada lingkungan. Apa saja kongkritnya metode yang membumi itu? Singkatnya,
mahasiswa yang mengikuti pelajaran Psikologi
Lingkungan harus menjadi nasabah Bank
Sampah yang lokasinya di mana saja di Yogyakarta. Instruksinya sudah sangat
jelas, namun kenyataannya masih banyak mahasiswa yang tidak tahu lokasi Bank Sampah di Yogyakarta. Akhirnya,
setelah berburu informasi, ditemukanlah lokasi Bank Sampah di tengah-tengah kota Yogyakarta, yaitu di dekat Alun-alun
Utara Keraton Yogyakarta.
Menuju lokasi Bank Sampah tersebut, mahasiswa masih
harus didampingi dosen. Ini karena mereka masih bingung bila berkenalan dengan
warga pengelola Bank Sampah yang
usianya jauh lebih tua daripada mahasiswa. Selain itu, pada umumnya mahasiswa
berasal dari luar Yogyakarta sehingga mereka tidak mengetahui denah kota Yogyakarta.
Lelucon satire untuk mahasiswa pendatang ini adalah mahasiswa jenis kupu-kupu
atau kuliah pulang, kuliah pulang. Mereka hanya bisa berangkat kuliah dari
tempat pondokan kemudian pulang. Begitulah ritme sehari-hari para mahasiswa.
Adanya keharusan
menjadi nasabah Bank Sampah ini menjadikan
mahasiswa Fakultas Psikologi UP45
menjadi lebih mengenal kota Yogyakarta, terampil berinteraksi dengan ibu-ibu
pengelola Bank Sampah, dan yang
penting perilakunya menjadi lebih peduli pada lingkungan. Diharapkan kelak
ketika sudah menjadi alumni, maka mereka menjadi figur teladan di tempat
kerjanya dan juga menjadi generasi Y yang dibanggakan oleh alma maternya, Fakultas Psikologi UP45.
Dari hasil
kunjungan perdana ke Bank Sampah di
Kauman Yogyakarta pada 18 Maret 2016 yang lalu, sekitar 20 mahasiswa berhasil menjadi
nasabah. Tidak ketinggalan dosennya juga ikut menjadi nasabah, yaitu Ibu Dewi Handayani
Harahap, S.Psi., Bapak FX. Wahyu Widiantoro, S.Psi., MA. Dan Ibu Dra. Muslimah
Z. Romas, M.Si. Para dosen ini diharapkan menjadi suri tauladan bagi para
mahasiswanya untuk peduli pada lingkungan hidup.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji