DIALOG AKTUAL RRI
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Sekarang
ini istilah ‘tahun politik’ sangat populer, karena pesta demokrasi Pemilihan
Umum (Pemilu) akan dilaksanakan pada 17 April 2019. Pada saat Pemilu tersebut,
seluruh masyarakat Indonesia yang sudah mempunyai hak pilih mendapat kesempatan
untuk memilih langsung presiden dan wakil rakyat. Wakil rakyat itu ada empat
kategori yaitu tingkat DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten, DPR, dan DPD. Partisipasi
masyarakat dalam Pemilu yaitu memilih presiden serta wakil rakyat merupakan
perwujudan dari demokrasi. Istilah yang populer adalah ‘mencoblos’ gambar
pemimpin yang disetujuinya. Partisipasi selanjutnya yang juga penting adalah
sebagian masyarakat bersedia menjadi presiden dan wakil rakyat. Istilahnya
masyarakat berpartisipasi aktif dengan cara menjadi pemimpin masyarakat,
sehingga potret dirinya akan dicoblos / dipilih oleh masyarakat. Tulisan ini
lebih tertuju pada partisipasi masyarakat untuk bersedia menjadi wakil rakat.
Persoalan
yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat untuk menjadi pemimpin, ternyata
sangat menyedihkan. Di Indonesia, untuk menjadi wakil rakyat dan presiden,
seseorang harus menyediakan dana hingga ratusan milyar rupiah (Hanifah, 2018).
Pemilu memang sangat mahal, sehingga tidak mengherankan bila para pemimpin yang
terpilih itu cenderung melakukan korupsi agar modal yang dikeluarkannya bisa
kembali. Begitu tingginya ongkos pesta demokrasi ini, maka calon pemimpin itu
akan mengalami kekecewaan yang sangat dalam bila mereka tidak berhasil
menduduki kursi pimpinan. Mereka mengalami stress berat. Tidak jarang calon
wakil rakyat yang gagal tersebut terpaksa menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa (Suara
Pembaruan, 2014b). Bahkan ada juga harus berpisah dengan pasangannya (Suara
Pembaruan, 2014a), dan ada juga yang bunuh diri (Liputan6, 2009).
Tulisan
ini berusaha mendiskusikan agar masyarakat tidak gentar menjadi wakil rakyat.
Hal ini karena menjadi wakil rakyat sesungguhnya merupakan tugas mulia. Suara
rakyat perlu didengarkan karena keberadaan rakyat adalah bagian dari kedaulatan
bangsa. Para wakil rakyat itulah yang akan menindaklanjuti persoalan-persoalan
yang dihadapi rakyat. Jumlah penduduk Indonesia adalah sekitar 260 juta,
sehingga persoalan rakyat juga mungkin sebanyak jumlah penduduk. Begitu rumitnya
persoalan rakyat, sehingga para wakil rakyat itu perlu mendapatkan imblan yang
juga tinggi. Penghasilan wakil rakyat itu bahkan bisa mencapai 1 milyar rupah /
bulan (Liputan6, 2013).
Tingginya
gaji dan mewahnya fasilitas-fasilitas yang bisa dinikmati oleh para wakil
rakyat, menyebabkan sebagian masyarakat sangat berambisi menjadi wakil rakyat pada
dewan legislatif. Ambisi yang tinggi itu sayangnya harus dihadang oleh kompetisi
yang juga tinggi dari rival-rivalnya. Untuk memenangkan kompetisi, para caleg
itu memainkan strategi politik uang yang sangat sulit dibuktikan meskipun
terasa keberadaannya. Menurut perhitungan para caleg gagal tersebut,
pengorbanan (dana yang dikeluarkan) untuk mendukung kampanye sudah sangat luar
biasa, bahkan melebih ambang batas ‘keikhlasannya’. Ketika para caleg yang
gagal itu sudah kehilangan kendali diri, maka mereka akan mengalami stress yang
berkepanjangan.
Apa
antisipasinya, agar para caleg gagal tersebut tidak mengalami stress yang
berkepanjangan? Menjadi wakil rakyat adalah suatu tujuan mulia dan tentu saja
sangat sulit. Oleh karena itu masyarakat yang ingin menjadi wakil rakyat harus
siap secara lahir dan bathin. Persiapan yang kasat mata antara lain harus ada
dukungan dana yang sangat memadai. Tidak bisa persoalan tentang dana untuk
keperluan pemilu ini ditakar seperti halnya jual beli. Hal ini karena politik
itu pada hakekatnya untuk melayani kebutuhan orang banyak dengan menggunakan
kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan itu diwujudkan dalam bentuk pembuatan
peraturan / kebijakan untun menuntun perilaku rakyat yang diwakilinya ke arah
kesejahteraan bersama.
Oleh
karena berkiprah di bidang politik itu demi kesejahteraan orang banyak, maka sudah
sewajarnya bila orang-orang yang ingin menjadi pemimpin / caleg harus sudah
selesai dengan dirinya sendiri. Persoalannya adalah banyak para caleg itu tidak
tahu diri dan cenderung mengharapkan ‘keuntungan’ finansial. Jadi bagaimana
caranya agar para caleg tersebut bisa selesai dengan dirinya sendiri? Konsep selesai
dengan diri sendiri tidak terjadi begitu saja, namun harus melalui pendidikan
kewarganegaraan semenjak usia dini.
Pendidikan
kewarganegaraan mempunyai tiga unsur yaitu pendidikan tanggung jawab pribadi, aktif
berpartispasi dan berorientasi keadilan (Poerwandari, 2019; Westheimer &
Kahne, 2004). Elemen tanggung jawab pribadi mendorong anak untuk berperilaku
bertanggung jawab. Contohnya, tidak membuang sampah sembarangan, dan bersedia
menjadi relawan dalam berbagai kegiatan sosial. Elemen aktif berpartisipasi
mendorong anak untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dari
tingkat lokal sampai nasional. Contoh kegiatan adalah memimpin pertemuan.
Elemen berorientasi keadilan mendorong anak untuk melakukan perubahan sosial
menuju masyarakat yang lebih baik. Anak diberi kemampuan mengenali berbagai
problem sosial dan ketidakadilan serta melakukan analisis kritis.
Melalu pendidikan kewarganegaraan ini,
seseorang semenjak usia dini dilatih untuk mencintai Indonesia serta menerapkan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, tidak membuang sampah
sembarangan merupakan cerminan dari sila pertama Pancasila. Sila pertama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian bahwa semua rakyat Indonesia
beriman pada suatu agama, dan semua agama sangat mendukung konsep bahwa
kebersihan adalah bagian dari iman. Jadi tidak membuang sampah sembarangan
berarti memelihara lingkungan menjadi bersih, dan perilaku tersebut sangat
didukung oleh semua agama.
Tulisan ini adalah materi diskusi “Dialog
Aktual” yang diselenggarkan oleh RRI Yogyakarta pada 19 Februari 2019. Judul
diskusi adalah “Antisipasi stress caleg yang gagal”. Diskusi berlangsung mulai
pukul 08.00 sampai dengan 09.00 WIB. Pada diskusi kali ini juga diundang tokoh
politik dari Partai Gerindra yaitu Bapak Jupiter Ome. Beliau mengemukakan
tentang motivasi aktif berpartisipasi dalam partai politik dan juga strategi
untuk mengatasi stress ketika gagal menjadi caleg. Pembawa acara diskusi adalah
Ibu Prima Hapsari. Diskusi ini sangat menarik karena dilaksanakan tepat pada
waktu tahun politik. Selain itu, ada dua pendengar setia RRI Yogyakarta yang
merespon acara ini. Berikut respon pendengar:
1)
Bapak
Sukiman dari berbah Yogyakarta. Beliau menanyakan tentang (a) Strategi untuk
mempopulerkan seorang calg. (b) Apa yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk
lebih mengenal caleg di suatu daerah.
2)
Ibu
Alina di Bantul. Beliau menanyakan tentang (a) Bahwa seseorang menjadi caleg
seharusnya sudah menyiapkan mental. Kenyataannya banyak yang belum siap. (b)
Caleg yang sudah lengser hendaknya tetap berkarya melayani masyarakat. (c)
Caleg yang dipastikan sudah resmi menjadi wakil rakyat hendaknya tetap amanah.
Daftar Pustaka
Hanifah, S. (2018). Ini daftar dana
kampanye parpol, siapa paling besar? Lipuan6.com. Oct. 18. Retrieved on Feb.
19, 2019 from:
https://www.liputan6.com/pileg/read/3670396/ini-daftar-dana-kampanye-parpol-siapa-paling-besar
Liputan6 (2009). Diduga stres, caleg
hamil bunuh diri. Liputan6.com. April 14. Retrieved on Feb. 19, 2019 from:
https://www.liputan6.com/news/read/176038/diduga-stres-caleg-hamil-bunuh-diri
Liputan6 (2013). Rincian gaji
anggota DPR RI, totalnya mencapai Rp. 1 M per bulan. Liputan.com. Feb. 21.
Retrieved on Feb. 19, 2019 from:
https://www.liputan6.com/news/read/518319/rincian-gaji-anggota-dpr-ri-totalnya-mencapai-rp-1-m-per-bulan
Poerwandari,
K. (2019). Pendidikan kewarganegaraan. Kompas.
2 Feb. hal. 19.
Suara Pembaruan (2014a). Suami gagal
pileg, istri minta cerai. April 13. Retrieved on Feb. 19, 2019 from:
https://sp.beritasatu.com/home/suami-gagal-pileg-istri-minta-cerai/53116
Suara Pembaruan (2014b). 10 caleg
stres berobat di RSJKO Bengkulu. April 25. Retrieved on Ffeb. 19, 2019 from:
https://sp.beritasatu.com/home/10-caleg-stres-berobat-di-rsjko-bengkulu/53937
Westheimer, J. &
Kahne, J. (2004). What kind of citizen? The politics of educating for
democracy. American Educational Research
Journal. Summer. 41(2), pp. 237-269.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji