IMPLEMENTASI
MOU ANTARA PSIKOLOGI UP45 DENGAN SMPN I SLEMAN
Arundati
Shinta
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
dan
Ai
Siti Patimah
Pusat
Studi Lingkungan Hidup, Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat
Program Sekolah Adiwiyata
sudah lama dicanangkan oleh pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 2 / 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Adiwiyata. Peraturan itu kemudian diperbarui dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI. No. 05/2013
tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adiwiyata. Peraturan ini membahas
syarat-syarat suatu sekolah mendapat penghargaan Adiwiyata. Syarat-syaratnya:
(i) Pengembangan kebijakan sekolah peduli dan
berbudaya lingkungan. (ii) Pengembangan kurikulum berbasis lingkungan. (iii)
Pengembangan kegiatan berbasis partisipatif. (iv) Pengelolaan dan pengembangan
sarana pendukung sekolah (Shinta, 2019).
Salah satu
butir penilaian dalam borang Adiwiyata adalah adanya pengelolaan sampah yang
ramah lingkungan. Pengelolaan sampah dalam tulisan ini terutama adalah sampah
organik. Pengelolaan sampah tersebut dilakukan dengan metode Keranjang
Takekura, pembuatan lubang biopori, dan pengelolaan sampah dengan komposter.
Metode Keranjang Takekura merupakan cara pengelolaan sampah dapur, dan sangant
sederhana, mudah, dan murah. Pembuatan biopori juga sangat mudah, yaitu tinggal
mengebur tanah secara manual, memberia pipa pralon yang berlubang-lubang dan
kemudian diisi dengan sampah organik. Pembuatan komposter bisa dilakukan dengan
menggunakan komposter yang ditawarkan oleh Dinas Lingkungan setempat. Komposter
juga bisa dibeli di Desa Kasongan Yogyakarta, karena bahannya terbuat dari tanah
liat.
Tiga metode
pengelolaan sampah organik tersebut sederhana dan mudah. Persoalannya,
pelaksanaan pengelolaan sampah tersebut sangat membutuhkan perilaku tekun dan
kepedulian terhadap sampah. Perilaku tekun terhadap sampah itulah yang kini jarang
dimiliki oleh masyarakat, apalagi kepedulian terhadap sampah. Hal ini tidak
terlepas dari anggapan mayoritas masyarakat, bahwa sampah itu tidak berguna dan
hanya menimbulkan masalah saja.
Untuk
mendapatkan kepedulian pada sampah serta perilaku tekun mengelola sampah secara
ramah lingkungan, maka perlu adanya sistem pendidikan yang mengacu pada
kepedulian pada lingkungan hidup. Sistem pendidikan tersebut tercermin pada
program Sekolah Adiwiyata. Program tersebut hanya terlaksana pada
jenjang SD-SMA. Selanjutnya pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan cara
mendirikan Bank Sampah. Program
Adiwiyata ini sesuai dengan teori social
learning (Bandura, 1986), bahwa anak belajar tentang sikap dan perilaku
pro-lingkungan hidup dari model / guru yang punya pengaruh kuat. Melalui proses
pengamatan dan peniruan perilaku yang konsisten, diharapkan anak akan peduli
sampah dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk pengisian borang
Adiwiyata, banyak sekolah yang merasa kesulitan. Hal ini karena borang
Adiwiyata tersebut memang setara rumitnya dengan borang akreditasi. Semua penjelasan
yang tertulis di borang, harus diikuti dengan bukti nyata. Jadi sekolah yang
mendapatkan predikat Sekolah Adiwiyata memang benar-benar menerapkan prinsip
cinta lingkungan hidup dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Cinta lingkungan
hidup juga tercermin pada semua perilaku warga sekolah (Shinta, 2019). Hal ini
sangat tidak mudah, karena anak-anak Indonesia jarang yang dididik untuk
senantiasa peduli pada sampah.
Dalam pengisian borang
Adiwiyata tersebut, anak-anak sekolah juga perlu dipantau dan didampingi. Hal ini
karena mereka sebenarnya sudah melakukan kegiatan pro-lingkungan hidup, namun
merasa sulit untuk menuangkan dalam suatu tulisan / memberikan komentar tertulis
yang mudah dipahami oleh asesor. Jadi fungsi fasilitator dalam hal ini adalah
menterjemahkan isi pikiran anak-anak ke dalam tulisan / laporan tentang
pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Adapun program-program aksi nyata
anak-anak dalam mengelola sampah sekolah antara lain:
*) Mengingatkan teman-temannya
untuk meletakkan (bukan membuang) sampah pada tempatnya yang sudah
terpisah-pisah. Misalnya:
(1) Tong
hijau = untuk sampah organik.
(2) Tong kuning = untuk sampah non organik (kemasan dari
plastik)
(3) Tong merah = untuk sampah B3 (bahan berbahaya dan
beracun).
Misalnya baterai,
lampu, obat nyamuk, dan sebagainya.
(4) Tong biru = untuk sampah kertas.
(5) Tong kelabu = untuk residu /
selain dari yang disebutkan di atas.
*) Mengingatkan petugas
sampah sekolah (Pak Bon) untuk selalu memisahkan sampah organik dan
non-organik. Hal ini penting karena petugas sekolah yang biasa menyapu halaman
mungkin saja lupa memisahkan sampah karena hal itu dipandang merepotkan.
*) Mengingatkan
teman-teman untuk selalu membawa bekal minuman sendiri dan tidak menggunakan
air minum kemasan yang dibeli dari toko. Hal ini penting karena perilaku
membawa bekal minuman adalah upaya untuk mengurangi (reduce) sampah plastik.
*) Menyimak berbagai
tayangan di kanal youtube terutama tentang pengelolaan sampah yang ramah
lingkungan. Hal ini penting karena teknologi berjalan dengan sangat cepat,
sehingga pengelolaan sampah pun juga akan berubah dengan sangat cepat. Pemberian
informasi dari guru dan fasilitator tentu tidak memadai, sehingga anak-anak diminta
untuk belajar dari kanal youtube. Hal ini juga berlaku untuk pengelolaan sampah
non-organik yang berupa pembuatan aneka kerajinan tangan yang tentu saja sangat
mengasyikkan para remaja milineal.
*) Membuat berbagai tulisan tetang berbagai peristiwa di
sekolah yang berhubungan dengan pengelolaan sampah di sekolah. Hal ini
berhubungan dengan penyiaran informasi, sehingga pihak sekolah yang sedang mengurus
predikat Adiwiyata akan mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Tulisan ini adalah laporan
dari pelaksanaan kerjasama antara UP45 dengan SMP N I Sleman Yogyakarta. Kerjasama
itu tentang pengelolaan sampah sekolah dengan cara yang ramah lingkungan. Pelatihan
/ pendampingan ketiga ini terlaksana pada 15 Agustus 2019. Fasilitator
pelatihan ini ada 3 orang. Pertama, Bapak Wira Widura, ST., M.Eng. (dosen Prodi
Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, UP45 Yogyakarta). Kedua, Ibu Ai Siti
Patimah, ST., M.Sc. (alumni Fakultas Teknik UP45, dosen di Pusat Studi
Lingkungan Hidup, Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat, serta sebagai
mahasiswa S3 Lingkungan Hidup di UGM Yogyakarta). Ketiga, Ibu Arundati Shinta
(dosen Fakultas Psikologi UP45).
Daftar pustaka:
Bandura,
A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive
theory. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Shinta, A. (2019). Penguatan pendidikan pro-lingkungan hidup di
sekolah-sekolah untuk meningkatkan kepedulian generasi muda pada lingkungan
hidup. Yogyakarta: Best Publisher.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji