Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

TONTONAN YANG SEHAT UNTUK ANAK-ANAK


IMPLEMENTASI MOU ANTARA UP45 DENGAN RADIO SONORA YOGYAKARTA

Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Menonton televisi merupakan salah satu variabel eksternal yang berpengaruh terhadap jati diri anak. Variabel eksternal lainnya adalah didikan dari orangtuanya, didikan dari gurunya, dan kegiatan bersama teman sebayanya (Shinta, 2012). Pada era disrupsi 4.0 sekarang ini, peran orangtua, guru dan teman sebaya cenderung digerser oleh televisi dan media sosial. Artinya, orangtua dan guru lebih sibuk membuka dan berinteraksi dengan teman-teman di dunia maya daripada mengurusi anak-anaknya. Hal serupa juga terjadi dengan kegiatan dengan teman sebaya. Teman sebaya anak cenderung lebih asik dengan gawai dan berinteraksi dengan teman di dunia maya daripada bermain ayun-ayun atau bermain petak umpet dengan teman di dunia nyata. Jadi bila anak tidak mempunyai gawai atau di rumah tidak ada televisi maka dia akan terisolir dan hanya bermenung-menung saja.


Persoalan yang berhubungan dengan dunia maya dan televisi adalah jenis acaranya sering tidak sesuai dengan usia dan perkembangan psikhis anak. Anak menjadi terpaksa dan akhirnya ketagihan melihat tontonan yang seharusnya untuk orang-orang yang lebih dewasa. Hal ini karena anak-anak mencontoh perilaku orang-orang dewasa di sekelilingnya juga teman-teman sebayanya. Anak menjadi merasa berbeda dan terisolir dari dunia pergaulan bila ia tidak mengikuti trend yang ada.

Situasi bertambah tidak nyaman karena industri televisi juga lebih memihak keinginan pasar. Tontonan khusus anak-anak tidak mendapatkan rating tinggi atau tidak diminati masyarakat. Tontonan yang diminati masyarakat adalah yang berhubungan dengan gosip, perilaku para artis, dunia politik, azab sengsara, dan sebagainya. Tontonan seperti film Keluarga Cemara, sangat sedikit sehingga jarang didukung oleh iklan. Akibatnya stasiun televisi enggan menayangkan tontonan ayng ramah anak, karena hal itu merugikan.

Apa bahayanya bila anak selalu dihadapkan pada tontonan yang tidak mendidik? Menurut teori kognitif sosial (Bandura, 1986), anak akan meniru adegan-adegan di televisi yang sangat mungkin tidak sesuai denegan usianya. Anak menjadi lebih cepat dewasa. Dampak selanjutnya yang mengkhawatirkan adalah orangtua dan guru tidak lagi menjadi figur panutannya. Figur panutan anak justru tokoh-tokoh yang tidak nyata. Hal ini terjadi pada anak-anak Sidney Australia pada tahun 1956 memilih orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya yang dikenalnya sebagai tokoh idola. Pada saat itu televisi belum ada. Pada tahun 1988 ketika televisi sudah lazim, tokoh idolanya berubah menjadi figur media massa dan tidak dikenal anak secara personal, seperti bintang film dan bintang olah raga. Figur nyata (teman sekelas, anggota keluarga) yang dulu menjadi idola sekarang justru menjadi tokoh yang dibenci (Duck, 1990). Hal ini berarti nasehat-nasehat dari orangtua dan guru tidak ada gunanya lagi.

Bahkan kini cita-cita anak juga sudah berubah. Pada masa lampau ketika televisi belum banyak, cita-cita anak pada umumnya adalah dokter, tentara, guru, dan sebagainya. Figur-figur tersebut adalah nyata dan memang sering dijumpai, misalnya anak-anak menjumpai polisi di jalan-jalan. Pada era disrupsi sekarang, cita-cita anak berubah menjadi youtuber. Alasannya adalah uang yang diperoleh banyak dan kerjanya hanya sedikit (tidak mengeluaran banyak energi).

Perubahan idola anak dari tokoh nyata menjadi tidak nyata tersebut terjadi karena dua alasan. Alasan pertama, figur televisi itu terlihat lebih bagus daripada kenyataan sehari-hari. Anak-anak kurang memahami bahwa bagusnya adegan di televisi adalah karena kosmetika, jalan cerita, dan perilaku aktor yang merupakan hasil latihan. Anak-anak mengira bahwa adegan di televisi itu memang begitu adanya, dan mereka juga belum mengetahui bahwa adegan-adegan yang diperagakan oleh model mempunyai alasan tertentu (Knowles & Nixon, 1990). Alasan kedua, orangtua tidak menyempatkan diri untuk menemani anaknya sehingga kontrol orangtua rendah terhadap pilihan acara anak (St. Peters, Fitch, Huston, Wright, & Eakins, 1991). Anak menjadi leluasa memilih acara dan idolanya.

Situasi sosial yang ada memang kurang mendukung pendidikan yang sehat pada anak. Ada beberapa cara yang bisa dicoba para orangtua untuk mengatasinya. Pertama, ajak anak untuk melakukan banyak kegiatan di luar rumah. Hal ini akan membuat hubungan sosial anak dan orangtua bertambah akrab. Kedua, anak memang harus didampingi keika menonton televisi. Semakin banyak dan sering waktu orangtua untuk anak maka perkembangan psikhis anak akan menajdi lebih baik. Janganlah orangtua mendampingi anak sambil membaca gawai. Situasi ini akan membingungkan anak.

Tulisan ini adalah materi siaran yang dilakukan di studio Radio Sonora Yogyakarta, pada 24 September 2019 pukul 10.00-11.00. Siaran ini bisa berlangsung dengan lancar karena adanya MOU antara Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta dengan Radio Sonora Yogyakarta. Penyiar Radio Sonora yang bertugas pada saat itu adalah Ibu Nesya. Adapun nara sumbernya ada dua, selain saya sendiri. Dua nara sumber tersebut adalah:

(1)  Ibu Dewi Handayani Harahap, S.Psi., M.Psi. – Wakil Rektor UP45 bidang SDM dan keuangan.
(2)  Ibu Melda, S.Pd., M.Pd. – Dosen Fakultas Teknik UP45.

Siaran pada acara Teras Kota tersebut menarik perhatian para pendengar setia. Hal ini karena ada sangat banyak respon yang dikirimkan kepada Ibu Nesya, namun hanya 4 penanya saja yang bisa dijawab. Mereka adalah: (1) Ibu Anisa dari Bantul, yang menanyakan tentang iklan yang tidak mendidik anak, namun terus diingat-ingat oleh anak. Cara mengatasinya bagaimana? (2) Ibu Rika di Terban Yogyakarta yang menanyakan tentang cara-cara mengarahkan anak agar mau menonton acara khusus anak-anak. (3) Bapak Andri di Yogyakarta yang menanyakan tentang tontonan di dunia digital yang sesuai untuk anak. (4) Bapak Sigit Purwanto di Jl. Kaliurang yang menanyakan tentang tontonan selebritis yang buruk.

Siaran di Radio Sonora ini dimaksudkan untuk mensukseskan Yogyakarta sebagai Kota Ramah Anak. Diharapkan masyarakat Yogyakarta termasuk pendengar setia Radio Sonora akan benar-benar menyayangi anak dalam kegiatan sehari-hari.

Salam Teras Kota.

Daftar Pustaka

Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Duck, J. M. (1990). Children’s ideals: The role of real-life versus media figures. Australian Journal Psychology. 42 (1), 19-29.
Knowles, A. D. & Nixon, M. C. (1990). Children’s comprehension of a television cartoon’s emotional theme. Australian Journal of Psychology. 42 (2), 115-121
Shinta, A. (2012). Variabel-variabel psikososial yang mempengaruhi pilihan peran gender anak. Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
St. Peters, M., Fitch, M., Huston, A. C., Wright, J. C. & Eakins, D. J. (1991). Television and families: What do young children watch with their parents?. Child Development, 62, 1409-1423.


Post a Comment

0 Comments