Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

MENUMBUHKAN PERILAKU MENOLONG PADA ANAK


IMPLEMENTASI MOU FAKULTAS PSIKOLOGI UP45 DENGAN RADIO SONORA YOGYAKARTA

Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

Topik perilaku menolong ini muncul karena ada seorang teman yang menolak mengikuti program BPJS. Padahal teman tersebut datang dari kalangan berada dan berpendidikan tinggi. Teman tersebut berpendapat bahwa BPJS itu adalah kewajiban Pemerintah bukan kewajiban masyarakat. Padahal BPJS itu sejatinya adalah implementasi konsep gotong royong dan perilaku saling menolong antara masyarakat yang berada dan masyarakat kurang mampu. Jadi dalam hal ini kepekaan seseorang untuk saling menolong perlu ditumbuhkan, termasuk pada anak-anak. Hal ini penting karena kepekaan / kepedulian pada penderitaan orang lain perlu ditumbuhkan / perlu dilatihkan pada anak-anak semenjak usia dini. Kepedulian anak-anak pada penderitaan orang lain merupakan salah satu persyaratan bagi Yogyakarta yang ingin mendapatkan predikat Kota Layak Anak.


Persoalan yang berhubungan dengan perilaku menolong adalah anak-anak pada era disrupsi 4.0 sekarang ini kurang peduli pada penderitaan teman-temannya. Anak-anak lebih memfokuskan dirinya pada gadget ketimbang memperhatikan kebutuhan teman-temannya yang kurang mampu. Situasi ini tentu saja memperihatinkan. Oleh karena itu perlu strategi bagi para orangtua untuk menstimulus perilaku menolong pada anak-anaknya.

Tulisan ini adalah laporan dari pelaksanaan kerjasama antara UP45 dengan Radio Sonora Yogyakarta. Siaran ini terlaksana pada hari Selasa 22 Oktober 2019 pukul 10.00-11.00. Adapun punggawa siaran kali ini adalah 2 mahasiswa Psikologi UP45 yang pintar yakni Fadli Amin dan Sri Sunu Widyaningsih dan dosen Arundati Shinta. Penyiar dari Radio Sonora adalah mbak Nesya. Dua mahasiswa tersebut sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul, karena topik perilaku menolong ini sangat menarik. Pertanyaan yang muncul yakni dari:

(1)   Bapak Hartono dari Mijilan Yogyakarta. Bapak Hartono menanyakan tentang cara mendidik anak untuk suka menolong. Hal ini karena anak Bapak Hartono ternyata justru menjadi tergantung pada pertolongan orang lain. Jadi anak justru meminta tolong terus-menerus alih-alih memberikan pertolongan. Pertanyaan ini dijawab oleh mahasiswa Fadli Amin yakni dengan menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Anak perlu digali potensi dirinya sehingga tidak selalu minta tolong.

(2)   Ibu Lusia yang menanyakan tentang cara konkrit mengajarkan perilaku menolong pada anak. Pertanyaan ini coba dijawab oleh mahasiswa Sri Sunu Widyaningsih. Orangtua bisa mengajarkan perilaku menolong pada anak dengan cara memberi contoh. Hal ini dikemukakan dalam teori Kognitif Sosial (Bandura, 1986) atau teori modeling. Orangtua adalah model pertama anak tentang berbagai perilaku. Cara memberi contoh yang konkrit antara lain dengan mengajak anak ke panti asuhan, dan orangtua memberi bantuan pada anak-anak yatim piatu. Anak kemudian diberi penjelasan tentang alasan pemberian  bantuan. Cara konkrit selanjutnya yakni dengan mengajak anak untuk menjadi relawan. Kegiatan relawan itu tidak perlu menunggu terjadinya bencana, karena banyak lembaga yang seinr mengadakan kegiatan amal secara rutin. Lembaga penyelenggara kegiatan amal antara lain rumah ibadah yang membuat nasi bungkus dan memberikan kepada orang-orang yang membutuhkannya. Cara konkrit selanjutnya yakni melalui kesempatan mendongeng pada anak ketika malam hari. Orangtua membacakan buku cerita dengan topik perilaku menolong.

(3)   Ibu Inge di Wirobrajan Yogyakarta. Persoalan yang dikemukakan Ibu Inge adalah tentang anaknya yang suka menolong, namun di sisi lain anaknya tersebut juga suka mengambil mainan dari temannya. Bila dihitung-hitung maka barang yang diambil (perilaku memalak) itu justru lebih banyak daripada barang-barang yang diberikan (perilaku menolong) pada temannya. Pertanyaan ini coba dijawab oleh dosen Arundati Shinta. Hal menarik karena Ibu Inge masih sempat menghitung mainan dan membandingkan antara mainan yang diberikan dan mainan yang diambil anak dari temannya. Perilaku menolong itu mempunyai dua alasan yakni alasan egois dan alasan altruis. Alasan egois antara lain seseorang menolong karena ada imbalan, karena ingin mendapatkan pujian, karena balas budi, karena takut pada seseorang, karena ingin mendapatkan rasa bahagia, dan sebagainya. Alasan altruis yakni perilaku menolong terjadi karena seseorang memang ingin menolong dan sama sekali tidak mengharapkan balasan apa pun. Perilaku menolong terjadi lebih karena keuntungan pada pihak orang yang ditolong bukan penolong. Jadi kasus pada putranya Ibu Inge, putranya menolong karena adanya unsur egois. Ia bersedia menolong namun juga selalu memalak temannya. Hal yang bisa dilakukan Ibu Inge adalah diskusi dengan putranya tentang maksud-maksud perilaku memalaknya tersebut.

(4)   Ibu Hani di Janti Yogyakarta. Ibu Hani menanyak tentang orangtua sebagai model bagi anaknya untuk perilaku menolong. Permasalahannya, orangtua sering bukan merupakan model yang sempurna. Orangtua sering tidak menolong orang lain, padahal di dekatnya ada anaknya. Situasi ini tentu akan membingungkan anaknya yang tentu saja akan mengamat-amati perilaku orangtuanya. Untuk pertanyaan ini, Arundati Shinta mencoba menjawabnya. Orangtua memang bukan model yang sempurna. Justru ketidaksempurnaan ini bahan bagus bagi orangtua untuk berdiskusi dengan anaknya. Perilaku menolong memang tidak segera muncul ketika seseorang menderita. Seseorang bersedia menolong karena beberapa faktor antara lain kesamaan (similarity) antara penolong dan orang yang ditolong dan penyebab terjadinya penderitaan tersebut. Bila penderitaan tersebut dipersepsikan masyarakat sebagai salahnya sendiri (misalnya pingsan karena mabuk minum minuman keras), maka orang kurang simpati sehingga perilaku menolong tidak muncul dari lingkungan sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 









Post a Comment

0 Comments