Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

MENJADI JUARA KELAS: SUATU KEHARUSAN BAGI ANAK?



Arundati Shinta
Fakultas Psikologi 
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Berapa ranking putra Anda? Itu adalah pertanyaan yang paling sering muncul dalam percakapan antar orangtua. Bila seorang anak tidak masuk dalam kategori ranking yang membanggakan, maka para orangtua tidak perlu mempromosikan di depan orangtua lainnya. Padahal ranking yang dianggap membanggakan adalah 10 besar, dan jumlah murid setiap kelas sekitar 40 anak. Jadi dari 40 orangtua, hanya 10 saja yang sah untuk merasa bangga dengan prestasi anaknya. Berdasarkan hal ini, banyak orangtua yang menyuruh anaknya mengikuti les tambahan. Salah satu menu les tambahan itu pasti berupa penyelesaian PR yang harus dikumpulkan esok harinya. Jadi jadwal kegiatan anak-anak (terutama yang masih duduk di bangku SD) yaitu belajar di sekolah pukul 7.00 - 13.00, makan siang di kantin sekolah, dilanjutkan dengan les pelajaran sekolah, dan pulang ke rumah sekitar pukul 18.00. Jadwal ini hampir sama dengan jadwal seorang karyawan perusahaan swasta. Dapat dibayangkan betapa lelahnya keadaan fisik dan psikhis anak. Ia juga tidak mempunyai waktu lagi untuk bermain sepak bola atau rumah-rumahan boneka dengan temannya. Semua pengorbanan ini ditempuh demi sebuah kesempatan untuk mendapatkan posisi 10 besar. Pertanyaannya adalah apakah dampak perilaku orangtua yang selalu mendorong anaknya untuk mendapatkan ranking 1 – 10 di kelas terhadap perkembangan psikhis anaknya?

Kegiatan les tambahan ini dari satu sisi memang baik yaitu menunjukkan kesungguhan orangtua yang tinggi terhadap prestasi sekolah anaknya. Mungkin orangtua itu tidak mempunyai cukup waktu untuk duduk dan belajar bersama dengan anaknya. Sebagai ganti dirinya, maka orangtua mengikutkan anaknya pada suatu tempat les, atau mengundang seorang guru privat ke rumah. Hal ini akan berakhir menyenangkan kalau anak itu memang benar-benar butuh dan senang dengan kegiatan les tambahan itu. Ia rela untuk mengorbankan kesempatan bermain layang-layang atau pasaran demi sebuah prestasi yang membanggakan. Contoh perilakunya adalah selalu ceria mengikuti les, tidak rewel, atau ‘bete’ (bad tempered).


Persoalan akan timbul, ketika anak itu justru merasa tersiksa dengan kegiatan les tambahan itu. Alih-alih mendapatkan ranking di kelas, anak itu justru menderita stress berat. Ini karena ia sangat ingin memenuhi obsesi orangtuanya, padahal kemampuannya tidak memadai. Contoh perilaku yang nampak adalah ia enggan mengikuti les, murung, rewel, mogok mengerjakan PR, atau bahkan membolos les. Para orangtua hendaknya perlu waspada terhadap perubahan perilaku anak-anaknya ini. Bila tidak diantisipasi dengan segera, mungkin saja anak itu justru akan membenci sekolah dan segala kegiatannya (school phobia). Untuk itu orangtua perlu merenungkan kembali tentang urgensi ranking di kelas. Apakah sepadan untuk ‘menggadaikan’ keceriaan anak dengan sebuah predikat ranking di kelas?

Untuk menjawab pertanyaan itu, maka penjelasan dari Leonhardt (2002), seorang pakar pendidikan, mungkin akan berguna. Ia sangat menekankan bahwa ketrampilan dan kecintaan belajar akan membantu anak-anak dalam perjuangan yang panjang baik dalam pendidikan maupun kehidupan mereka kelak. Bila anak-anak itu terlalu ditekan dan dipaksa untuk berprestasi, maka mereka akan merasa cemas bila harapan orangtua itu gagal. Hal ini akan membuat anak-anak justru terpuruk pada arah yang salah untuk memenuhi tuntutan orangtuanya. Contohnya yaitu perilaku menyontek pada waktu ujian, dan perbuatan curang lainnya.

Persoalannya sekarang adalah apakah ada kiat-kiat bagi orangtua, agar anaknya bisa lebih mencintai pelajaran-pelajaran sekolahnya? Bila anak Anda membenci pelajaran sekolah dan les, malas mengerjakan PR, selalu terlambat datang ke sekolah, nilai-nilai pelajarannya menurun, maka orangtua perlu segera mengetahui penyebabnya. Penyebab yang mungkin adalah faktor fisik, lingkungan, emosi, sosial, dan kemampuan kognitif. Faktor fisik misalnya anak merasa tidak sehat, anak membutuhkan kaca mata, dan anak selalu menguap karena perutnya kelaparan. Faktor lingkungan misalnya keadaan penerangan yang buruk, suasana kelas yang tidak nyaman untuk belajar, bau pesing, dan sebagainya. Faktor emosi antara lain meliputi hubungan yang tidak menyenangkan dengan gurunya. Bagi anak-anak tingkat SD, karakteristik guru sering lebih penting daripada topik pelajarannya. Artinya bila seorang anak menyukai seorang guru, maka pelajaran apa pun yang diberikan guru itu pasti akan diterima dengan senang hati oleh anak itu. Faktor sosial misalnya lingkungan teman-teman anak di kelas sering mengganggu atau tidak. Seorang anak mungkin lebih memilih membolos sekolah karena teman sebangkunya sering meminta uang jajannya.

Faktor kemampuan kognitif mungkin mejadi penyebab anak enggan untuk bersekolah dan mengerjakan PR. Arti dari kemampuan kognitif ini adalah kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung. Ketiga kemampuan itu adalah dasar dari ketrampilan hidup seseorang pada masa yang akan datang (United Nations, 1990). Mungkin saja, seorang anak malas mengerjakan PR matematika karena ia memang tidak lancar membaca buku teks, belum mampu menulis dengan baik, dan lemah dalam berhitung. Bila hal ini terjadi, orangtua perlu bersabar dan mengajarkan calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Dalam proses mengajar anak, kesabaran orangtua sering diuji. Apalagi bila orangtua mengajar anak dengan disambi memasak atau mengasuh anak yang lebih kecil. Orangtua sering kali menjadi tidak sabar, sehingga anak menerima berbagai bentakan bahkan mungkin cacian. Alangkah malangnya menjadi anak yang harus berguru pada orangtua yang tingkat kesabarannya rendah.

Alternatif lain yang dapat ditempuh orangtua untuk mengatasi anak yang bermasalah dengan calistung adalah mengundang guru les. Pilihlah guru privat yang bisa memahami karakteristik anak. Kehadiran guru privat untuk mendongkrak kemampuan dasar itu tentu tidak berarti bila lingkungan keluarga tidak mendukungnya. Ingatlah, bahwa guru les hanya berfungsi membantu anak dalam memahami pelajaran, dan sekaligus ’menghindarkan’ orangtua dari stress. Bantuan dari guru les ini harus didukung oleh keluarga.

Bentuk dukungan keluarga itu antara lain orangtua rajin membacakan buku cerita sebagai pengantar tidur bagi anak-anaknya. Tulisan Shinta (1996) menjelaskan bahwa dongeng bagi anak bisa menumbuhkan rasa ingin tahu (curiosity) yang besar yang seterusnya juga akan menumbuhkan minat baca yang besar pada anak. Anak akan tergelitik untuk membaca sendiri buku-bukunya. Usahakanlah untuk membelikan buku-buku bacaan yang bermutu secara rutin, sehingga kunjungan ke toko buku merupakan saat-saat yang menyenangkan dan selalu ditunggu.

Selanjutnya kemampuan membaca tidak ada artinya bila tidak diiringi dengan kemampuan menulis. Pada masa-masa awal di sekolah, anak telah belajar menulis. Bentuk tulisannya biasanya buruk, bila dilihat dari ukuran orang dewasa. Orangtua hendaknya tidak perlu berkecil hati melihat perkembangan anaknya ini, sebab kemampuan psikomotorik anak (tangan) memang belum sempurna. Usahakanlah tulisan anak itu didokumentasikan, atau dikirimkan ke majalah dinding sekolah, atau majalah anak-anak. Publikasi semacam ini cenderung memacu semangat anak untuk menulis, sehingga kemampuannya dalam membaca dan menulis juga akan meningkat. Rasa bangga bahwa namanya pernah terpampang di suatu media massa akan teringat selalu, bahkan juga honornya.

Satu hal perlu dicatat, dokumentasi tulisan anak itu secara relatif mahal harganya. Hal ini karena anak tidak akan mampu memproduksinya lagi tulisan seperti itu pada masa yang akan datang. Pendokumentasian juga perlu dilakukan untuk memacu kemampuan anak dalam bidang menggambar. Koleksilah hasil gambar anak-anak, apa pun mutunya. Rentetan koleksi itu akan berfungsi seperti biografi anak, baik perkembangan kemampuannya maupun suasana hati saat ia membuat gambar itu. Koleksi gambar itu bisa dibuatkan pigura yang menarik dan menjadi salah satu hiasan dinding kamarnya atau ruang lainnya. Para tamu yang datang berkunjung ke rumah tentu akan terkesan melihat usaha yang keras dari orangtua dalam memacu kemampuan melukis anak. Selain itu, pameran lukisan anak di rumah sendiri itu juga mencerminkan hubungan yang dekat antara orangtua dan anak.

Untuk memacu kemampuan berhitung, maka orangtua hendaknya sering melatih berhitung dengan angka-angka sederhana. Latihan ini menuntut kesabaran yang tinggi. Agar pelajaran berhitung tidak menakutkan dan tidak membosankan, maka hal itu bisa dikaitkan dengan kegiatan sehari-hari. Misalnya ketika orangtua belanja, anak diajak ikut serta dan diminta bantuannya untuk ikut menghitung jumlah belanjaan. Hindarkanlah pemakaian kalkulator atau komputer.

Kiat kedua untuk mendorong semangat belajar anak adalah melatih kemampuan belajar secara mandiri. Dalam bukunya Leonhardt (2002) yang laris itu, masalah kemandirian anak selalu mendapatkan porsi utama karena hal itu memang sangat penting dalam pendidikan. Artinya sekolah dan segala pengerjaan PR merupakan tanggung jawab anak, bukan orangtua. Misalnya orangtua tidak boleh terlalu banyak membantu anak dalam mengerjakan PR, sehingga anak menjadi lebih mandiri. Kiat ini akan menyebabkan para orangtua tidak tergoda menjadikan nilai bagus sebagai tujuan pendidikan. Kesempatan untuk berperilaku secara mandiri ternyata juga merupakan suatu kebutuhan anak. Hal ini telah diungkapkan oleh Frandsen (1961) bahwa latihan kemandirian bagi anak ini juga mencerminkan bahwa orangtua mempercayai cara kerja anaknya. Perilaku orangtua semacam ini pada gilirannya juga akan membuat anak semakin percaya pada dirinya sendiri.

Jadi sebenarnya prestasi yang tinggi dari seorang anak adalah hasil jerih payah anak itu sendiri dan juga orangtuanya. Kerja keras orangtua tidak terletak pada bantuan menyelesaikan berbagai tugas sekolah anaknya, tetapi justru pada dorongan bagi anaknya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya secara mandiri. Artinya orangtua memfasilitasi pendidikan anaknya, dan berusaha menumbuhkan semangat berprestasi. Cara-cara orangtua memfasilitasi anak antara lain dengan menemani anak belajar yaitu anak membaca buku orangtua juga membaca buku, tetapi tidak sambil menghidupkan televisi. Adanya acara televisi akan memecah konsentrasi anak.

Kiat ketiga mendorong semangat belajar anak yaitu orangtua mengusulkan pada komite sekolah agar sistem ranking ditiadakan saja. Beberapa sekolah swasta yang maju memang sudah menerapkan hal itu yaitu tidak ada kata-kata ranking di rapor nilai, meskipun orangtua sebenarnya juga bisa mengetahuinya. Kebijakan seperti itu, sungguh membuat anak terpacu karena pembandingnya adalah dirinya sendiri, bukan teman-temannya atau rata-rata kelas. Sungguh menyakitkan bila kita sendiri sebagai orangtua selalu dibanding-bandingkan dengan orangtua lainnya, oleh anak kita sendiri.

Sebagai akhir kata mungkin kita perlu mengingat kata-kata bijak bahwa “Para orangtua itu sebenarnya tidak menentukan masa depan anaknya, tetapi justru menentukan berbagai kebiasaan pada anaknya. Kebiasaan-kebiasaan itulah yang akhirnya akan menentukan masa depan anak”. Ketika orangtua tergoda pada kedudukan ranking 10 besar, maka segala cara akan ditempuh untuk mendapatkannya. Misalnya orangtua tidak akan segan-segan membuatkan PR anak. Bila ini terjadi berarti yang bersekolah sebenarnya orangtua, bukan anak-anaknya. Akibatnya anak akan terbiasa mendapatkan nilai-nilai bagus tanpa ia perlu bekerja keras, anak tidak akan pernah mempunyai pengalaman tentang suatu kegagalan, anak tidak akan mempunyai keinginan untuk bersaing dengan teman-temannya. Sebuah proses pendidikan yang mulia telah dihancurkan oleh obsesi orangtua untuk mendapatkan ranking bagi anak-anaknya. Apakah memang hal ini yang kita inginkan?

Post a Comment

2 Comments

  1. Adanya ranking di kelas adalah cara guru untuk membiasakan anak pada kompetisi. Lha kan bagus? Apa koemntar bu Shinta?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pak Yusril, terima kasih untuk responnya. Ranking memang nampaknya bagus untuk memecut semangat berkompetisi sehingga hasilnya adalah anak diharapkan untuk selalu masuk dalam kategori ranking utama. Risiko ranking adalah anak seperti dibanding-bandingkan terus dengan rata-rata kelas, sehingga anak cenderung stress. Padahal bersekolah seharusnya pengalaman yang membahagiakan, menyenangkan, bukan sumber stress. Pendapat saya, lebih baik ranking ditiadakan saja. Itu kok nampaknya seperti sistem kasta. Salam hormat Pak Yusril.

      Delete

Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji