Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi
45
Yogyakarta
Baru-baru ini saya
mewawancarai seorang anak kelas 4 SD tentang nilai prakaryanya yang buruk.
Dengan lantang ia mengatakan bahwa semua kegagalannya ini gara-gara guru
prakaryanya tidak tahu seni. Tidak lama kemudian seorang karyawan mengeluh
tentang majikannya yang berperilaku tidak adil sehingga karirnya terhambat,
bahkan hampir di-PHK. Keluhan semacam ini tentu akan bisa lebih panjang lagi
bila melibatkan mahasiswa yang saya hadapi setiap hari. Keluhan mahasiswa pada
umumnya adalah nilainya yang buruk karena soal-soal yang diberikan dosen tidak
mencerminkan persoalan dalam masyarakat, dosennya pilih kasih, dosennya tidak
bermutu. Bahkan mungkin orangtua mahasiswa ikut menambah runyam situasi dengan
menyalahkan pihak universitas karena SPP anaknya terlalu tinggi. Semua ini
tentu saja membuat saya merenung, apa yang menyebabkan orang-orang itu demikian
mudahnya menyalahkan faktor di luar dirinya untuk menjelaskan kegagalan
(situasi negatif) yang dialaminya? Sedemikian frustrasinyakah mereka sehingga
tidak segan-segan lagi menuding orang lain sebagai penyebab situasi negatif
yang dialaminya?
Tulisan ini tidak bermaksud
untuk menjadi bahan pemaaf (excuse) bagi
pihak-pihak tertentu yang dianggap menjadi tertuduh bagi kegagalan orang lain,
untuk tidak perlu memperbaiki diri. Tulisan ini memang lebih tujukan pada orang-orang
yang sedang terjepit pada situasi yang tidak menyenangkan dan merasa tidak
mampu untuk keluar dari situasi itu, atau bahkan alternatif di luar justru
lebih buruk lagi. Jadi tulisan ini justru untuk mengajak orang-orang agar
mereka mampu mencari sisi-sisi positif dari situasi negatif yang sedang
menghimpitnya. Ini merupakan suatu hal yang sangat sulit, tetapi bagaimana pun
sangat relevan dengan keadaan sekarang ini yang mana banyak orang yang hidupnya
terhimpit.
Reaksi umum yang biasa
dilakukan ketika seseorang mengalami kegagalan adalah kecewa. Ini suatu perasaan
yang tidak menyenangkan, dan tentu saja akan mendorong seseorang untuk segera
mengembalikan perasaannnya seperti semula. Cara yang paling mudah yaitu
menimpakan segala kegagalan itu pada orang lain. Ibaratnya buruk muka cermin
dibelah. Istilah yang populer untuk menggambarkan hal ini adalah mencari
kambing hitam. Cara ini disebut paling mudah karena pada dasarnya setiap orang
tidak akan bersedia dikritik, tidak peduli seberapa pun berat kesalahannya. Kita
dapat membayangkan betapa hebohnya situasi sehari-hari bila semua orang memakai
cara ini untuk menjelaskan situasi negatif yang menimpanya. Dunia ini isinya
hanya ada pertengkaran yang saling menyalahkan saja. Dalam literatur psikologi
sosial yang ditulis oleh Michener dan DeLamater pada tahun 1999, fenomena ini
disebut sebagai self-serving bias
atau penilaian yang salah tentang diri sendiri. Artinya bila suatu keberhasilan
diraih maka kita tidak segan-segan mengatakan bahwa hal itu karena usaha
sendiri yang tidak kenal lelah. Hal yang menarik adalah bila kegagalan
menghadang maka dengan lantang pula kita akan menyalahkan orang lain.
Untuk menjelaskan fenomena self-serving bias ini, tiga pakar
psikologi yaitu Bernstein, Stephan dan Davis pada tahun 1979 telah bersusah
payah melakukan suatu penelitian di kalangan mahasiswa. Para
mahasiswa tersebut diminta untuk menjawab soal-soal ujian dan kemudian memberi
komentar tentang prestasi yang dicapainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mahasiswa yang bernilai A dan B, cenderung untuk mengatakan bahwa prestasinya
itu sebagai cerminan dari usahanya yang keras. Sebaliknya mahasiswa yang
bernilai C, D dan F mengatakan bahwa buruknya prestasi itu karena soal-soalnya
sulit dan dewi fortuna tidak sudi menghampirinya. Bahasa gaulnya adalah enak di saya nggak enak di kamu.
Apa sebenarnya yang
menyebabkan seseorang mudah dalam mencari kambing hitam sebagai penjelasan bagi
kegagalannya? Ini karena pola pendidikan pada masa kecil yang keliru. Sekedar
menggali ingatan, ketika kita terjatuh karena terantuk sebuah batu maka
orangtua akan menghibur bahwa yang salah adalah batu itu yang tergeletak di
tengah jalan. Bahkan untuk meyakinkan dan juga untuk menghentikan tangis kita
maka orangtua dengan segera memukul batu itu. Ini suatu hal yang nampaknya
aneh, tetapi sering terjadi di sekeliling kita bahkan sampai sekarang.
Selanjutnya Michener dan
DeLamater mengungkapkan masih ada tiga faktor lagi yang menyebabkan terjadinya
fenomena kambing hitam. Pertama, untuk melindungi harga diri kita. Kegagalan
yang ditimpakan pada faktor luar menunjukkan bahwa kita sebenarnya masih
mempunyai kemampuan cukup bagus. Hanya gara-gara gangguan dari faktor luar
sajalah yang membuat kita gagal. Faktor kedua yaitu untuk memberi kesan bahwa
kita mampu mengendalikan segala sesuatu secara maksimal bila diberi kesempatan
atau waktu yang cukup. Kembali pada ilustrasi di atas, anak itu merasa yakin
akan mendapat nilai tinggi untuk prakaryanya bila cara pembuatannya sesuai
dengan keinginannya bukan keinginan gurunya. Tentu saja bila hal ini dilakukan
semua orang maka situasi akan runyam karena standar penilaian akan
bermacam-macam sesuai dengan kehendak siswa. Faktor terakhir yaitu dengan
menyalahkan pihak lain berarti kesan positif tentang diri sendiri akan
terpelihara. Bila mengakui bahwa kegagalan itu karena faktor internal (dari
dalam diri kita), maka nama baik kita dikhawatirkan akan tercemar.
Fenomena mencari kambing
hitam ini memang sangat berbahaya bagi program pengembangan kualitas SDM. Sebab
fenomena ini justru menyebabkan seseorang yang sedang ditimpa kegagalan enggan
untuk memperbaiki diri. Buat apa memperbaiki diri? Bukankah yang salah orang
lain, bukan saya? Kira-kira demikianlah yang ada dalam benak orang yang gagal
ini.
Kalau demikian halnya,
apakah ada cara lain yang lebih keren (menarik) untuk menenangkan sang ego yang
sedang terluka ini? Ada,
tetapi sayangnya cara ini memang agak lebih sulit. Caranya yaitu kesediaan
mengambil jarak terhadap kegagalan itu. Artinya orang yang sedang menghadapi
masa sulit itu diminta untuk meredam emosinya dan menganggap bahwa kegagalan
itu adalah persoalan orang lain. Analogi dalam kehidupan sehari-hari yaitu
perilaku memasukkan benang dalam lubang jarum. Proses itu akan berjalan lancar
bila mata berjarak tertentu dari jarum, tidak terlalu jauh atau terlalu dekat.
Proses pengambilan jarak ini akan menuntun kita untuk lebih objektif dalam
melihat suatu kesulitan. Operasionalisasinya adalah mencoba untuk bertanya apabila
persoalan itu dialami orang lain, kira-kira langkah penyelesaian yang akan
diambil apa saja. Upaya-upaya untuk menjawab persoalan itu akan membawa kita ke
arah penyelesaian ayng lebih objektif. Objektivitas inilah yang pada gilirannya
bisa menuntun seseorang untuk melihat sisi-sisi positif dari peristiwa
kegagalan itu dan juga melihat peluang untuk mengatasinya. Pada tahap akhir
yaitu ia justru akan merasa bersyukur karena sudah mengalami peristiwa negatif
tersebut. Seandainya ia tidak mengalami hal itu, mungkin saja wawasannya tetap
sempit.
Proses panjang itulah yang
dinamakan dengan disonansi kognitif, yang dipopulerkan oleh pakar psikologi Leon
Festinger pada tahun 1957. Fenomena ini menunjukkan bahwa seseorang sedang
dalam situasi tidak menyenangkan, namun ia dipaksa untuk mengatakan bahwa
situasinya itu positif dan menyenangkan. Ini adalah seperti menyuruh orang
untuk membohongi diri sendiri. Tentu saja ini sangat tidak nyaman. Hal yang
menarik adalah semakin ia berusaha untuk membuat kebohongan itu menjadi suatu
hal yang nyata, maka ia semakin terdorong untuk mengeluarkan ide-ide kreatifnya.
Ia berusaha dengan segala daya untuk membenarkan ide-ide kreatifnya itu. Jadi
ia melakukan suatu effort justification (Crano
& Messé, 1982). Ide kreatif inilah yang membuat kondisi kognitif seseorang
menjadi seimbang lagi. Jadi dalam hal ini kreativitas berarti kemampuan untuk
melihat atau menemukan hal-hal yang orang lain tidak bisa melihatnya.
Ia bisa melihat hal-hal
yang kreatif karena terjepit oleh keadaan. Di samping itu, peristiwa yang
menghimpitnya itu bernilai vital baginya. Jadi pelaksanaan ide kreatif ini
berarti memanjangkan hidupnya. Seorang teman mengatakan secara bergurau, ketika
seseorang sedang terjepit (Jawa: kepepet)
maka biasanya kecerdikannya akan keluar. Teman itu mungkin mengutip kata-kata
bijak bahwa kebutuhan adalah bunda dari kreativitas. Orang yang terbiasa dengan
keadaan yang serba menyenangkan dan mudah memperolehnya, maka ia akan akan
menjadi lengah dan mudah frustrasi ketika menghadapi hambatan yang sepele.
Proses penyeimbangan
disonansi kognitif ini memang melelahkan. Karena proses ini mensyaratkan adanya
perubahan pada diri sendiri. Ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan,
maka kita terdorong untuk mengubah situasi itu. Sayangnya, cara yang paling
umum dipakai yaitu memberikan saran perubahan dan perbaikan yang ditujukan
kepada orang lain, bukan pada diri sendiri. Bila semua orang berperilaku
seperti itu, maka dijamin perbaikan situasi tidak akan pernah terjadi. Perubahan
yang dimulai dari diri sendiri tentu akan segera membuat perbaikan situasi
terwujud.
Proses pengenalan diri ini
akan lebih kuat bila kita – para orangtua – mulai memperkenalkan anak pada
konsep tentang kegagalan dan hubungannya dengan penyebab yang berasal dari
faktor internal (dari dalam diri sendiri). Pola pendidikan semacam inilah yang sebenarnya
akan memperkuat mental bangsa kita. Proses pengenalan diri ini pun sesuai
dengan penerapan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Bila mengalami
hal-hal yang tidak menyenangkan, maka kita justru disarankan untuk bersyukur. Hal
ini karena situasi negatif (kegagalan) itu sebenarnya adalah petunjuk dari-Nya
agar kita bisa menemukan solusi atau peluang yang lebih baik lagi. Dengan
perkataan lain, semakin banyak kita mengumpulkan kambing hitam untuk alasan
pembenar bagi kegagalan kita, maka semakin terperosoklah kita dalam lumpur
frustrasi. Tidak mustahil giliran berikutnya adalah keputusasaan. Oleh karena
itu ketika menjalani hidup yang singkat ini (hanya mampir ngombe) maka hendaknya kita ingat akan kata-kata bijaksana
dari seorang penulis Amerika, Norman Vincent Peale bahwa there is an inherent good in most difficulties, dalam setiap
kesulitan tentu ada sesuatu yang berharga.
Daftar pustaka:
Crano,
W. D. & Messé L. A. (1982). Social psychology: Principles and themes of
interpersonal behavior.
Homewood, Illinois:
Dorsey Press.
Michener, H. A. &
DeLamater, J. D. (1999). Social psychology.
4th Ed. Philadelphia: Harcourt
Brace College
Publishers.
Catatan:
Tulisan ini adalah revisi dari tulisan yang berjudul “Fenomena
si kambing hitam”, yang sudah dipublikasikan di Majalah Siaran Pemerintah Daerah DIY No.4 Th. XXX April 2003.
Halaman 10-16. SK Kepda DIY No. 129/1976, SK Menpen RI
No. 181/SK/Ditjen PPG/STT/1976.
2 Comments
Materi kuliah po bu Shinta? Any way ditunggu tulisan yang lainnya ya. Materi kuliah kalau ditulis dengan baik, ya enak kok dibaca dan perlu.
ReplyDeleteTerima kasih untuk responnya. Ini bukan materi kuliah, tetpai refleksi kehidupan sehari-hari. Salam, A. Shinta
DeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji