Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

FENOMENA SI KAMBING HITAM: UPAYA MELINDUNGI SANG EGO YANG TERLUKA



Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

Baru-baru ini saya mewawancarai seorang anak kelas 4 SD tentang nilai prakaryanya yang buruk. Dengan lantang ia mengatakan bahwa semua kegagalannya ini gara-gara guru prakaryanya tidak tahu seni. Tidak lama kemudian seorang karyawan mengeluh tentang majikannya yang berperilaku tidak adil sehingga karirnya terhambat, bahkan hampir di-PHK. Keluhan semacam ini tentu akan bisa lebih panjang lagi bila melibatkan mahasiswa yang saya hadapi setiap hari. Keluhan mahasiswa pada umumnya adalah nilainya yang buruk karena soal-soal yang diberikan dosen tidak mencerminkan persoalan dalam masyarakat, dosennya pilih kasih, dosennya tidak bermutu. Bahkan mungkin orangtua mahasiswa ikut menambah runyam situasi dengan menyalahkan pihak universitas karena SPP anaknya terlalu tinggi. Semua ini tentu saja membuat saya merenung, apa yang menyebabkan orang-orang itu demikian mudahnya menyalahkan faktor di luar dirinya untuk menjelaskan kegagalan (situasi negatif) yang dialaminya? Sedemikian frustrasinyakah mereka sehingga tidak segan-segan lagi menuding orang lain sebagai penyebab situasi negatif yang dialaminya?

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjadi bahan pemaaf (excuse) bagi pihak-pihak tertentu yang dianggap menjadi tertuduh bagi kegagalan orang lain, untuk tidak perlu memperbaiki diri. Tulisan ini memang lebih tujukan pada orang-orang yang sedang terjepit pada situasi yang tidak menyenangkan dan merasa tidak mampu untuk keluar dari situasi itu, atau bahkan alternatif di luar justru lebih buruk lagi. Jadi tulisan ini justru untuk mengajak orang-orang agar mereka mampu mencari sisi-sisi positif dari situasi negatif yang sedang menghimpitnya. Ini merupakan suatu hal yang sangat sulit, tetapi bagaimana pun sangat relevan dengan keadaan sekarang ini yang mana banyak orang yang hidupnya terhimpit.


Reaksi umum yang biasa dilakukan ketika seseorang mengalami kegagalan adalah kecewa. Ini suatu perasaan yang tidak menyenangkan, dan tentu saja akan mendorong seseorang untuk segera mengembalikan perasaannnya seperti semula. Cara yang paling mudah yaitu menimpakan segala kegagalan itu pada orang lain. Ibaratnya buruk muka cermin dibelah. Istilah yang populer untuk menggambarkan hal ini adalah mencari kambing hitam. Cara ini disebut paling mudah karena pada dasarnya setiap orang tidak akan bersedia dikritik, tidak peduli seberapa pun berat kesalahannya. Kita dapat membayangkan betapa hebohnya situasi sehari-hari bila semua orang memakai cara ini untuk menjelaskan situasi negatif yang menimpanya. Dunia ini isinya hanya ada pertengkaran yang saling menyalahkan saja. Dalam literatur psikologi sosial yang ditulis oleh Michener dan DeLamater pada tahun 1999, fenomena ini disebut sebagai self-serving bias atau penilaian yang salah tentang diri sendiri. Artinya bila suatu keberhasilan diraih maka kita tidak segan-segan mengatakan bahwa hal itu karena usaha sendiri yang tidak kenal lelah. Hal yang menarik adalah bila kegagalan menghadang maka dengan lantang pula kita akan menyalahkan orang lain.

Untuk menjelaskan fenomena self-serving bias ini, tiga pakar psikologi yaitu Bernstein, Stephan dan Davis pada tahun 1979 telah bersusah payah melakukan suatu penelitian di kalangan mahasiswa. Para mahasiswa tersebut diminta untuk menjawab soal-soal ujian dan kemudian memberi komentar tentang prestasi yang dicapainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang bernilai A dan B, cenderung untuk mengatakan bahwa prestasinya itu sebagai cerminan dari usahanya yang keras. Sebaliknya mahasiswa yang bernilai C, D dan F mengatakan bahwa buruknya prestasi itu karena soal-soalnya sulit dan dewi fortuna tidak sudi menghampirinya. Bahasa gaulnya adalah enak di saya nggak enak di kamu.

Apa sebenarnya yang menyebabkan seseorang mudah dalam mencari kambing hitam sebagai penjelasan bagi kegagalannya? Ini karena pola pendidikan pada masa kecil yang keliru. Sekedar menggali ingatan, ketika kita terjatuh karena terantuk sebuah batu maka orangtua akan menghibur bahwa yang salah adalah batu itu yang tergeletak di tengah jalan. Bahkan untuk meyakinkan dan juga untuk menghentikan tangis kita maka orangtua dengan segera memukul batu itu. Ini suatu hal yang nampaknya aneh, tetapi sering terjadi di sekeliling kita bahkan sampai sekarang.

Selanjutnya Michener dan DeLamater mengungkapkan masih ada tiga faktor lagi yang menyebabkan terjadinya fenomena kambing hitam. Pertama, untuk melindungi harga diri kita. Kegagalan yang ditimpakan pada faktor luar menunjukkan bahwa kita sebenarnya masih mempunyai kemampuan cukup bagus. Hanya gara-gara gangguan dari faktor luar sajalah yang membuat kita gagal. Faktor kedua yaitu untuk memberi kesan bahwa kita mampu mengendalikan segala sesuatu secara maksimal bila diberi kesempatan atau waktu yang cukup. Kembali pada ilustrasi di atas, anak itu merasa yakin akan mendapat nilai tinggi untuk prakaryanya bila cara pembuatannya sesuai dengan keinginannya bukan keinginan gurunya. Tentu saja bila hal ini dilakukan semua orang maka situasi akan runyam karena standar penilaian akan bermacam-macam sesuai dengan kehendak siswa. Faktor terakhir yaitu dengan menyalahkan pihak lain berarti kesan positif tentang diri sendiri akan terpelihara. Bila mengakui bahwa kegagalan itu karena faktor internal (dari dalam diri kita), maka nama baik kita dikhawatirkan akan tercemar.

Fenomena mencari kambing hitam ini memang sangat berbahaya bagi program pengembangan kualitas SDM. Sebab fenomena ini justru menyebabkan seseorang yang sedang ditimpa kegagalan enggan untuk memperbaiki diri. Buat apa memperbaiki diri? Bukankah yang salah orang lain, bukan saya? Kira-kira demikianlah yang ada dalam benak orang yang gagal ini.

Kalau demikian halnya, apakah ada cara lain yang lebih keren (menarik) untuk menenangkan sang ego yang sedang terluka ini? Ada, tetapi sayangnya cara ini memang agak lebih sulit. Caranya yaitu kesediaan mengambil jarak terhadap kegagalan itu. Artinya orang yang sedang menghadapi masa sulit itu diminta untuk meredam emosinya dan menganggap bahwa kegagalan itu adalah persoalan orang lain. Analogi dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku memasukkan benang dalam lubang jarum. Proses itu akan berjalan lancar bila mata berjarak tertentu dari jarum, tidak terlalu jauh atau terlalu dekat. Proses pengambilan jarak ini akan menuntun kita untuk lebih objektif dalam melihat suatu kesulitan. Operasionalisasinya adalah mencoba untuk bertanya apabila persoalan itu dialami orang lain, kira-kira langkah penyelesaian yang akan diambil apa saja. Upaya-upaya untuk menjawab persoalan itu akan membawa kita ke arah penyelesaian ayng lebih objektif. Objektivitas inilah yang pada gilirannya bisa menuntun seseorang untuk melihat sisi-sisi positif dari peristiwa kegagalan itu dan juga melihat peluang untuk mengatasinya. Pada tahap akhir yaitu ia justru akan merasa bersyukur karena sudah mengalami peristiwa negatif tersebut. Seandainya ia tidak mengalami hal itu, mungkin saja wawasannya tetap sempit.

Proses panjang itulah yang dinamakan dengan disonansi kognitif, yang dipopulerkan oleh pakar psikologi Leon Festinger pada tahun 1957. Fenomena ini menunjukkan bahwa seseorang sedang dalam situasi tidak menyenangkan, namun ia dipaksa untuk mengatakan bahwa situasinya itu positif dan menyenangkan. Ini adalah seperti menyuruh orang untuk membohongi diri sendiri. Tentu saja ini sangat tidak nyaman. Hal yang menarik adalah semakin ia berusaha untuk membuat kebohongan itu menjadi suatu hal yang nyata, maka ia semakin terdorong untuk mengeluarkan ide-ide kreatifnya. Ia berusaha dengan segala daya untuk membenarkan ide-ide kreatifnya itu. Jadi ia melakukan suatu effort justification (Crano & Messé, 1982). Ide kreatif inilah yang membuat kondisi kognitif seseorang menjadi seimbang lagi. Jadi dalam hal ini kreativitas berarti kemampuan untuk melihat atau menemukan hal-hal yang orang lain tidak bisa melihatnya.

Ia bisa melihat hal-hal yang kreatif karena terjepit oleh keadaan. Di samping itu, peristiwa yang menghimpitnya itu bernilai vital baginya. Jadi pelaksanaan ide kreatif ini berarti memanjangkan hidupnya. Seorang teman mengatakan secara bergurau, ketika seseorang sedang terjepit (Jawa: kepepet) maka biasanya kecerdikannya akan keluar. Teman itu mungkin mengutip kata-kata bijak bahwa kebutuhan adalah bunda dari kreativitas. Orang yang terbiasa dengan keadaan yang serba menyenangkan dan mudah memperolehnya, maka ia akan akan menjadi lengah dan mudah frustrasi ketika menghadapi hambatan yang sepele.

Proses penyeimbangan disonansi kognitif ini memang melelahkan. Karena proses ini mensyaratkan adanya perubahan pada diri sendiri. Ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, maka kita terdorong untuk mengubah situasi itu. Sayangnya, cara yang paling umum dipakai yaitu memberikan saran perubahan dan perbaikan yang ditujukan kepada orang lain, bukan pada diri sendiri. Bila semua orang berperilaku seperti itu, maka dijamin perbaikan situasi tidak akan pernah terjadi. Perubahan yang dimulai dari diri sendiri tentu akan segera membuat perbaikan situasi terwujud.

Proses pengenalan diri ini akan lebih kuat bila kita – para orangtua – mulai memperkenalkan anak pada konsep tentang kegagalan dan hubungannya dengan penyebab yang berasal dari faktor internal (dari dalam diri sendiri). Pola pendidikan semacam inilah yang sebenarnya akan memperkuat mental bangsa kita. Proses pengenalan diri ini pun sesuai dengan penerapan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Bila mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, maka kita justru disarankan untuk bersyukur. Hal ini karena situasi negatif (kegagalan) itu sebenarnya adalah petunjuk dari-Nya agar kita bisa menemukan solusi atau peluang yang lebih baik lagi. Dengan perkataan lain, semakin banyak kita mengumpulkan kambing hitam untuk alasan pembenar bagi kegagalan kita, maka semakin terperosoklah kita dalam lumpur frustrasi. Tidak mustahil giliran berikutnya adalah keputusasaan. Oleh karena itu ketika menjalani hidup yang singkat ini (hanya mampir ngombe) maka hendaknya kita ingat akan kata-kata bijaksana dari seorang penulis Amerika, Norman Vincent Peale bahwa there is an inherent good in most difficulties, dalam setiap kesulitan tentu ada sesuatu yang berharga.



Daftar pustaka:

Crano, W. D. & Messé L. A. (1982). Social psychology: Principles and themes of interpersonal behavior. Homewood, Illinois: Dorsey Press.
Michener, H. A. & DeLamater, J. D. (1999). Social psychology. 4th Ed. Philadelphia: Harcourt Brace College Publishers.

Catatan:

Tulisan ini adalah revisi dari tulisan yang berjudul “Fenomena si kambing hitam”, yang sudah dipublikasikan di Majalah Siaran Pemerintah Daerah DIY No.4 Th. XXX April 2003. Halaman 10-16. SK Kepda DIY No. 129/1976, SK Menpen RI No. 181/SK/Ditjen PPG/STT/1976.

Post a Comment

2 Comments

  1. Materi kuliah po bu Shinta? Any way ditunggu tulisan yang lainnya ya. Materi kuliah kalau ditulis dengan baik, ya enak kok dibaca dan perlu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih untuk responnya. Ini bukan materi kuliah, tetpai refleksi kehidupan sehari-hari. Salam, A. Shinta

      Delete

Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji