Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

POTENSI PATOLOGI AKUNTABILITAS DIBALIK PENGUKURAN KINERJA PEMDA



TAMU PADA SEMINAR NASIONAL MULTIDISIPLIN 2017 DI UP45

Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

Reformasi birokrasi pemerintahan akan bisa dilaksanakan dengan lancar ketika 4 hal di bawah ini juga dilakukan yaitu:
  1. Pemerintahan yang efektif dan efisien.
  2. Pemerintahan terbuka dan berbasis teknologi informasi.
  3. Pemerintahan bersifat partisipatif dan melayani rakyat.
  4. SDM aparatur yang berkompeten dan kompetitif.

Empat persyaratan tersebut di atas akan membuat kinerja birokrasi menjadi semakin efektif dan efisien. Kinerja birokrasi yang baik akan membuat pemerintah menjadi semakin terbuka, desentralisasi terlaksana dengan baik, dan terjadi kompetisi pasar secara terbuka. Kinerja birokrasi yang baik ini juga ditunjang oleh trands demografi yaitu kelas menengah yang kuat, masyarakat yang semakin terdidik dan peran perempuan yang semakin kuat. Kinerja birokrasi juga ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi yang mana hampir semua warga melek teknologi informasi. Jaringan sosial semakin luas. Kinerja birokrasi yang baik ini akan memenuhi harapan masyarakat bahwa pemerintahan telah dijalankan dengan transparan dan akuntabel. Dampaknya adalah partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan semakin tinggi.


Ketika terjadi reformasi birokrasi dalam masyarakat, maka mungkin saja terjadi peluang patologi akuntabilitas. Patologi akuntabilitas adalah suatu kondisi yang mengganggu berfungsinya sistem akuntabilitas sosial secara substantif. Dapat saja terjadi sistem akuntabilitas tetap dapata berjalan secara prosedural, tetapi secara substantif terjadi disfungsi sehingga tetap muncul kondisi yang tidak akuntabel.

Fenomena patologi / disfungsi akuntabilitas: Implementasi mekanisme akuntabilitas yang baru belum tentu mencegah perilaku yang memprioritaskan kepentingan pribadi. Mekanisme yang baru tersebut mungkin saja justru memfasilitasi tumbuhnya bentuk eksploitasi baru yang berbeda. Hal ini karena adanya insentif dan disinsentif yang ditimbulkan dari sistem akuntabilitas, baik secara formal / informal.

Apa saja contoh-contoh patologi akuntabilitas?
1). Karyawan memilih melakukan apa yang bijaksana dan akomodatif sesuai situasi yang cenderung menguntungkan pribadi. 
2). Karyawan mendewakan peraturan dan otoritas, melakukan segala sesuatu karena mengikuti peraturan dan kurang peduli pada kekhasan konteks lingkungan.  
3). Karyawan berkelit untuk dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya, berdasarkan alasan bahwa ia hanya menjalankan perintah serta tidak mempunyai wewnang dan otoritas yang bebas. 
4). Karyawan mencari kambing hitam untuk disalahkan supaya bukan dirinya yang dianggap bersalah. 
5). Karyawan mengerutkan moral inidividu dengan dalih bahwa yang menentukan dasar moral tindakannya adalah organisasi sehingga ia tidak mau disalahkan secara pribadi kalau ada pertentangan dengan nilai publik. 
6). Karyawan menolak bertanggung jawab secara pribadi dan menganggap bahwa yang harus bertanggung jawab adalah lembaga. 
7). Karyawan mengerutkan tanggung jawab personal dengan berdalih bahwa aparat hanya menjalankan kebijakan. Jadi pertanggungjawaban kepada publik digeser menjadi pertanggungjawaban menjalankan tugas formal sesuai diskripsi tugas organisasi / birokrasi. 
8). Mengerutkan otoritas politik ketika pejabat publik yang seharusnya bertanggung-jawab kepada publik digeser menjadi pertanggungjawaban kepada kalangan mereka sendiri. Bila seorang karyawan sudah melaporkan pada atasan tentang tugas-tugasnya – apa pun kualitasnya – maka hal itu dianggap karyawan tersebut sudah melakukan pertanggungjawaban dengan akuntabel. Padahal proses pertanggungjawaban kepada publik tidak sesederhana seperti yang dilakukannya.

Akhirnya disimpulkan bahwa budaya organisasi yang mengutamakan prosedural dan formalitas, maka pengukuran kinerja para karyawannya akan dilakukan secara semu. Tampaknya ada pengukuran kinerja dengan akuntabel, ternytata hal itu hanya dilakukan untuk memenuhi prosedur saja. Padahal sebenarnya akuntabilitas tidak hanya sekedar pemenuhan bentuk laporan kinerja yang tertulis. Akuntabilitas membutuhkan pengembangan kinerja yang berorientasi pada hasil dan dampak yang ditimbulkan. Agar terbentuk akuntabiltas yang berkualitas tinggi maka perlu dibentuk monitoring berbasis komunitas yang menggunakan berbagai media komunikasi.

Tulisan ini adalah ringkasan materi presentasi dari Rutiana D. Wahyunengseh, dosen dari FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Presentasi ini dilakukan pada Seminar Nasional Multi Disiplin yang diselenggarakan oleh Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Pelaksanaan seminar dilakukan pada 4 November 2017 di ruang seminar UP45.


Post a Comment

0 Comments