Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Beberapa waktu yang lalu, kami (teman-teman dan saya)
berbincang-bincang tentang gaji yang diterima setiap bulan. Kami semua tertawa
terbahak-bahak karena gaji kami semua berada di bawah UMP (Upah Minimum
Propinsi). Kami mentertawakan diri sendiri karena begitu tololnya bersedia
bekerja pada sebuah organisasi dengan gaji yang sangat minim. Kami tertawa
karena hal itu adalah obat yang paling manjur menghadapi kesedihan yang semakin
lama semakin tidak tertahankan. Kami berpikir, lebih baik tertawa bersama
daripada bunuh diri bersama-sama. Hal yang menarik adalah, kami tidak berpindah
dan mengabdi pada organisasi lainnya, meskipun dalam pikiran kami semua
menginginkan pindah organisasi.
Alasannya tetap bertahannya kami pada organisasi yang miskin
ini adalah karena usia dan mutu SDM. Dari segi usia, kami semua rata-rata sudah
hampir pensiun. Apabila kami keluar, maka tentu tidak ada organisasi lainnya
yang bersedia menampung SDM tua. Jadi daripada menganggur maka lebih baik kami
tetap bertahan pada organisasi miskin tadi. Alasan kedua adalah kualitas kami
sebagai SDM organisasi ternyata sangat rendah. Kami tidak berani mengubah diri
untuk menjadi lebih baik. Kami enggan mempelajari hal-hal baru karena kami
memang pemalas. Jadi mengabdi pada organisasi miskin bagi kami, SDM yang sudah
tua dan pemalas, merupakan situasi yang paling baik daripada menganggur. Oleh
karena itu dapat dibayangkan betapa muramnya suasana kerja di tempat organisasi
kami.
Persoalan yang muncul dari fenomena muram di tempat
organisasi kami mengabdi adalah tidak adanya etika bekerja. Teman-teman
berpendapat bahwa gaji yang rendah merupakan alasan pembenar untuk
bermalas-malasan, untuk korupsi waktu, dan untuk bekerja asal-asalan. Semua
teman menyalahkan organisasi karena tidak mampu memberi imbalan yang layak.
Pendapat mayoritas teman-teman inilah yang mengusik pikiran saya. Apabila
organisasi mampu memberi imbalan layak, apakah mereka bersedia dan mampu
menampilkan prestasi yang membanggakan? Persoalan itu sama dengan pertanyaan
klasik yaitu mana yang lebih dulu ayam (kerja yang berkualitas) atau telur
(imbalan).
Tulisan ini ditujukan tidak hanya untuk teman-teman yang
sama-sama mengabdi di organisasi, tetapi juga untuk para pemerhati masalah
ketenagakerjaan dan manajemen organisasi. Tulisan ini ingin memberikan suatu
pencerahan tentang strategi menghadapi perilaku organisasi yang tidak beretika.
Harapannya adalah organisasi tempat kami mengabdi dan organisasi secara makro
akan berjalan lebih baik karena para pelaku organisasi menuaikan tugasnya
dengan beretika.
Pertanyaan klasik tentang mana yang lebih dulu ayam atau
telur, tidak akan pernah terjawab dengan memuaskan, karena akar permasalahannya
adalah kami (teman-teman dan saya) sering kali tidak tahu diri. Kami merasa
sudah mengorbankan segala-galanya pada organisasi, padahal mutu pengorbanan itu
sebenarnya jauh lebih rendah daripada pengorbanan teman-teman di organisasi lainnya.
Kami merasa terlalu pongah untuk mengakui bahwa kami adalah SDM yang malas,
bodoh, dan bebal. Untuk menutupi kelemahan itu, maka organisasi adalah target
yang paling tepat untuk menjadi bulan-bulanan kami. Dalam psikologi sosial,
fenomena ini disebut self serving bias
(Myers, 1994). Self serving bias
yaitu persepsi bahwa diri sendiri lebih baik daripada rata-rata orang lain. Self serving bias adalah seperti
kesalahan dalam mengukur diri sendiri.
Myers (1994) menuliskan beberapa hasil penelitian tentang self serving bias ini, antara lain:
- Para pengusaha pada umumnya mempersepsikan dirinya lebih beretika daripada pengusaha-pengusaha lainnya. Ini adalah hasil penelitian dari Baumhart pada tahun 1968.
- Di Australia, 86% orang menilai kinerjanya jauh di atas rata-rata, dan hanya 1% orang saja yang menilai kinerjanya berada di bawah rata-rata. Ini adalah hasil penelitian Headey dan Wearing pada tahun 1987.
Contoh dua penelitian itu semakin menegaskan bahwa kami
adalah SDM yang terlalu pongah untuk mengakui akan kualitas buruk yang kami
miliki. Kami sering memandang bahwa hanya kamilah yang mampu mengabdi di
organisasi ini karena kami mempunyai semangat untuk mengorbankan diri. Mengapa
kami terlalu pongah untuk mengakui kelemahan diri? Ada beberapa penyebab
fenomena persepsi diri yang terlalu pongah ini (Myers, 1994).
Alasan pertama dari persepsi diri terlalu pongah adalah
adanya keinginan untuk menampilkan citra yang bagus bagi lingkungan eksternal. Disadari
atau tidak kami semua cenderung untuk kreatif mengemukakan alasan pemaaf bagi
kemalasan kami untuk berubah. Contoh perilaku yag sering kami tampilkan adalah merasa
tidak berdosa bila datang terlambat, merasa wajar bila meninggalkan tugas lebih
cepat, merasa wajar bila memperlakukan konsumen (pengguna jasa) secara
sewenang-wenang. Ajaibnya, hanya saya yang merasa sedih melihat fenomena self serving bias. Dampaknya saya sering
merasa terasing dengan pergaulan sosial di organisasi tempat kami mengabdi.
Saya sering berseberangan pendapat dengan mayoritas teman-teman. Apakah saya
termasuk SDM yang hebat? Tidak, saya bukan SDM yang hebat. Buktinya, kadang
kala saya terhanyut dalam pemikiran teman-teman sehingga saya menjadi senang
terlambat masuk organisasi, tidak melaksanakan tugas dengan ikhlas, kreatif dalam
mencari alasan agar tidak perlu mengikuti rapat-rapat yang melelahkan, dan
selalu menghindar bila bertemu dengan pimpinan. Meskipun sedih, saya harus
mengakui bahwa citra diri bagus yang dilihat dari lingkungan masih penting
untuk saya.
Alasan kedua dari persepsi diri terlalu pongah adalah adanya keinginan
untuk menampilkan citra yang bagus bagi diri sendiri. Hal ini penting agar diri
sendiri tidak merasa bersalah ketika berperilaku yang tidak terpuji seperti
tidak melayani konsumen selayaknya. Analoginya adalah karyawan sebagai korban
dari tidak bermutunya organisasi sehingga para karyawannya ‘berhak’ untuk
korupsi waktu dan nyambi bekerja di
tempat lain. Karyawan adalah objek sehingga tidak bisa disalahkan begitu saja
bila berperilaku tidak terpuji.
Apa saja dampak self
serving bias ini? Seperti telah disebutkan di atas, kadang kala saya juga
melakukan tindakan tidak terpuji seperti halnya teman-teman lainnya. Pada
perkembangan selanjutnya, perilaku tidak terpuji itu sering terbawa ketika saya
harus melaksanakan tugas di luar organisasi tempat saya mengabdi.
Organisasi-organisasi luar itu ternyata mempunyai sistem standar kerja yang
bagus, sehingga tidak heran apabila orang-orang yang bekerja pada organisasi
tersebut memang mempunyai prestasi yang hebat. Dampak yang sangat terasa adalah
saya menjadi terengah-engah menyamakan prestasi kerja teman-teman yang mengabdi
pada organisasi bagus tersebut. Saya menjadi sangat malu.
Bagaimana cara mengatasi persepsi tentang diri sendiri secara
pongah ini? Syarat adanya perubahan perilaku yaitu kenali faktor-faktor yang
menyebabkan diri sendiri pongah, dan terimalah hal itu sebagai kenyataan (accepted). Setelah adanya penerimaan
diri, maka muncullah penyelesaian masalah. Tentu saja penyelesaian masalah itu
harus diiringi dengan kesediaan mengubah diri. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap fenomena diri sendiri pongah antara lain kepicikan atau
keterkungkungan seseorang pada kelompoknya (Myers, 1994). Orang-orang yang
merasa terkungkung dalam kelompok, cenderung merasa dirinya lebih baik (ingroup) daripada orang-orang yang
berada di luar kelompok (outgroup) (Fisher,
1982).
Oleh karena itu, cara untuk mengatasi salah pengukuran
tentang diri sendiri ini adalah memperluas cakrawala pergaulan sosial.
Berdasarkan pergaulan sosial ini individu akan melihat bahwa di luar
organisasinya ternyata jauh lebih banyak orang yang prestasinya mengagumkan. Bergaul
dengan banyak orang yang berbeda-beda adalah mencerahkan kehidupan. Bergaul
dengan banyak orang yang berbeda-beda juga akan membuka kesempatan bagi semua orang untuk berubah.
Bagaimana realisasi perubahan perilaku dalam kelompok agar
saya tidak mempersepsikan diri secara pongah? Bergaul dengan banyak orang di
luar organisasi tempat saya mengabdi, telah membuka mata pada banyak kesempatan
yang dapat diraih. Ketika kesempatan-kesempatan langka itu diperoleh maka saya
merasa menjadi lebih kuat, sehingga berani menghadapi tekanan teman-teman seorganisasi
untuk berperilaku seragam. Secara operasional, saya menjadi lebih berani untuk
berbeda persepsi tentang dampak rendahnya gaji dengan perilaku tidak terpuji.
Saya merasa gaji yang rendah bukan alasan pemaaf bagi munculnya perilaku tidak
terpuji. Akan lebih baik bila karyawan merasa organisasi sudah tidak baik lagi,
maka disarankan karyawan segera keluar saja.
Oleh karena itu apabila karyawan menginginkan organisasi
membayar gaji secara lebih layak, maka karyawan terlebih dahulu membuktikan
kinerjanya. Kalau memang menginginkan gaji tinggi, maka perlihatkanlah perilaku
kerja yang memang benar-benar layak digaji tinggi. Apa saja perilaku yang layak
diberi gaji tinggi itu? Perilaku tersebut antara lain datang ke tempat kerja
tidak terlambat, mengerjakan tugas-tugas organisasi tidak melebihi batas waktu
bahkan kalau mungkin lebih cepat dari tenggat waktu yang ditentukan pemimpin, aktif
membantu teman menyelesaikan tugas meskipun hal itu bukan diskripsi kerjanya, melayani
konsumen dengan sepenuh hati, tidak korupsi (uang, waktu, dan barang), dan
tentu masih sangat banyak perilaku terpuji lainnya. Mari berubah sekarang juga.
Mengapa tidak?
Daftar pustaka:
Fisher, R. J. (1982). Social Psychology: An Applied Approach. New
York: St. Martin’s Press.
Myers, D. G. (1994). Exploring social psychology. New York:
McGraw-Hill Book, Inc.
3 Comments
Pripun Bu Shinta itu, kalau kerja tanpa uang ya saya tidak mau to? Terus untuk anak dan suami bagaimana? Apa mereka disuruh makan makanan sembarangan saja? Kalau saya sih kerja ya harus ada duitnya, bahkan kalau bisa duitnya yang banyak tapi kerjanya sedikit. Iya kan?
ReplyDeleteBu Yayank, kerja itu ibadah to. Kalau sudah diniati dan sudah jatuh cinta pada pekerjaan itu, maka gaji sedikit rasanya berjuta-juta. Itu sih menurut resep Rene Suhardono yaitu follow your passion. Bagaimana menurut Anda, bu Yayank?
DeleteSaya suka sekali dengan presepsi dan tulisan ibu.
ReplyDeleteMenginspirasi
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji