Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

GAJI SEDIKIT = ALASAN PEMAAF UNTUK KORUPSI?



Arundati Shinta

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta



Beberapa waktu yang lalu, kami (teman-teman dan saya) berbincang-bincang tentang gaji yang diterima setiap bulan. Kami semua tertawa terbahak-bahak karena gaji kami semua berada di bawah UMP (Upah Minimum Propinsi). Kami mentertawakan diri sendiri karena begitu tololnya bersedia bekerja pada sebuah organisasi dengan gaji yang sangat minim. Kami tertawa karena hal itu adalah obat yang paling manjur menghadapi kesedihan yang semakin lama semakin tidak tertahankan. Kami berpikir, lebih baik tertawa bersama daripada bunuh diri bersama-sama. Hal yang menarik adalah, kami tidak berpindah dan mengabdi pada organisasi lainnya, meskipun dalam pikiran kami semua menginginkan pindah organisasi.

Alasannya tetap bertahannya kami pada organisasi yang miskin ini adalah karena usia dan mutu SDM. Dari segi usia, kami semua rata-rata sudah hampir pensiun. Apabila kami keluar, maka tentu tidak ada organisasi lainnya yang bersedia menampung SDM tua. Jadi daripada menganggur maka lebih baik kami tetap bertahan pada organisasi miskin tadi. Alasan kedua adalah kualitas kami sebagai SDM organisasi ternyata sangat rendah. Kami tidak berani mengubah diri untuk menjadi lebih baik. Kami enggan mempelajari hal-hal baru karena kami memang pemalas. Jadi mengabdi pada organisasi miskin bagi kami, SDM yang sudah tua dan pemalas, merupakan situasi yang paling baik daripada menganggur. Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa muramnya suasana kerja di tempat organisasi kami.

Persoalan yang muncul dari fenomena muram di tempat organisasi kami mengabdi adalah tidak adanya etika bekerja. Teman-teman berpendapat bahwa gaji yang rendah merupakan alasan pembenar untuk bermalas-malasan, untuk korupsi waktu, dan untuk bekerja asal-asalan. Semua teman menyalahkan organisasi karena tidak mampu memberi imbalan yang layak. Pendapat mayoritas teman-teman inilah yang mengusik pikiran saya. Apabila organisasi mampu memberi imbalan layak, apakah mereka bersedia dan mampu menampilkan prestasi yang membanggakan? Persoalan itu sama dengan pertanyaan klasik yaitu mana yang lebih dulu ayam (kerja yang berkualitas) atau telur (imbalan).


Tulisan ini ditujukan tidak hanya untuk teman-teman yang sama-sama mengabdi di organisasi, tetapi juga untuk para pemerhati masalah ketenagakerjaan dan manajemen organisasi. Tulisan ini ingin memberikan suatu pencerahan tentang strategi menghadapi perilaku organisasi yang tidak beretika. Harapannya adalah organisasi tempat kami mengabdi dan organisasi secara makro akan berjalan lebih baik karena para pelaku organisasi menuaikan tugasnya dengan beretika.

Pertanyaan klasik tentang mana yang lebih dulu ayam atau telur, tidak akan pernah terjawab dengan memuaskan, karena akar permasalahannya adalah kami (teman-teman dan saya) sering kali tidak tahu diri. Kami merasa sudah mengorbankan segala-galanya pada organisasi, padahal mutu pengorbanan itu sebenarnya jauh lebih rendah daripada pengorbanan teman-teman di organisasi lainnya. Kami merasa terlalu pongah untuk mengakui bahwa kami adalah SDM yang malas, bodoh, dan bebal. Untuk menutupi kelemahan itu, maka organisasi adalah target yang paling tepat untuk menjadi bulan-bulanan kami. Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut self serving bias (Myers, 1994). Self serving bias yaitu persepsi bahwa diri sendiri lebih baik daripada rata-rata orang lain. Self serving bias adalah seperti kesalahan dalam mengukur diri sendiri.

Myers (1994) menuliskan beberapa hasil penelitian tentang self serving bias ini, antara lain:

  • Para pengusaha pada umumnya mempersepsikan dirinya lebih beretika daripada pengusaha-pengusaha lainnya. Ini adalah hasil penelitian dari Baumhart pada tahun 1968.
  • Di Australia, 86% orang menilai kinerjanya jauh di atas rata-rata, dan hanya 1% orang saja yang menilai kinerjanya berada di bawah rata-rata. Ini adalah hasil penelitian Headey dan Wearing pada tahun 1987.

Contoh dua penelitian itu semakin menegaskan bahwa kami adalah SDM yang terlalu pongah untuk mengakui akan kualitas buruk yang kami miliki. Kami sering memandang bahwa hanya kamilah yang mampu mengabdi di organisasi ini karena kami mempunyai semangat untuk mengorbankan diri. Mengapa kami terlalu pongah untuk mengakui kelemahan diri? Ada beberapa penyebab fenomena persepsi diri yang terlalu pongah ini (Myers, 1994).

Alasan pertama dari persepsi diri terlalu pongah adalah adanya keinginan untuk menampilkan citra yang bagus bagi lingkungan eksternal. Disadari atau tidak kami semua cenderung untuk kreatif mengemukakan alasan pemaaf bagi kemalasan kami untuk berubah. Contoh perilaku yag sering kami tampilkan adalah merasa tidak berdosa bila datang terlambat, merasa wajar bila meninggalkan tugas lebih cepat, merasa wajar bila memperlakukan konsumen (pengguna jasa) secara sewenang-wenang. Ajaibnya, hanya saya yang merasa sedih melihat fenomena self serving bias. Dampaknya saya sering merasa terasing dengan pergaulan sosial di organisasi tempat kami mengabdi. Saya sering berseberangan pendapat dengan mayoritas teman-teman. Apakah saya termasuk SDM yang hebat? Tidak, saya bukan SDM yang hebat. Buktinya, kadang kala saya terhanyut dalam pemikiran teman-teman sehingga saya menjadi senang terlambat masuk organisasi, tidak melaksanakan tugas dengan ikhlas, kreatif dalam mencari alasan agar tidak perlu mengikuti rapat-rapat yang melelahkan, dan selalu menghindar bila bertemu dengan pimpinan. Meskipun sedih, saya harus mengakui bahwa citra diri bagus yang dilihat dari lingkungan masih penting untuk saya.

Alasan kedua dari persepsi diri terlalu pongah adalah adanya keinginan untuk menampilkan citra yang bagus bagi diri sendiri. Hal ini penting agar diri sendiri tidak merasa bersalah ketika berperilaku yang tidak terpuji seperti tidak melayani konsumen selayaknya. Analoginya adalah karyawan sebagai korban dari tidak bermutunya organisasi sehingga para karyawannya ‘berhak’ untuk korupsi waktu dan nyambi bekerja di tempat lain. Karyawan adalah objek sehingga tidak bisa disalahkan begitu saja bila berperilaku tidak terpuji.

Apa saja dampak self serving bias ini? Seperti telah disebutkan di atas, kadang kala saya juga melakukan tindakan tidak terpuji seperti halnya teman-teman lainnya. Pada perkembangan selanjutnya, perilaku tidak terpuji itu sering terbawa ketika saya harus melaksanakan tugas di luar organisasi tempat saya mengabdi. Organisasi-organisasi luar itu ternyata mempunyai sistem standar kerja yang bagus, sehingga tidak heran apabila orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut memang mempunyai prestasi yang hebat. Dampak yang sangat terasa adalah saya menjadi terengah-engah menyamakan prestasi kerja teman-teman yang mengabdi pada organisasi bagus tersebut. Saya menjadi sangat malu.

Bagaimana cara mengatasi persepsi tentang diri sendiri secara pongah ini? Syarat adanya perubahan perilaku yaitu kenali faktor-faktor yang menyebabkan diri sendiri pongah, dan terimalah hal itu sebagai kenyataan (accepted). Setelah adanya penerimaan diri, maka muncullah penyelesaian masalah. Tentu saja penyelesaian masalah itu harus diiringi dengan kesediaan mengubah diri. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fenomena diri sendiri pongah antara lain kepicikan atau keterkungkungan seseorang pada kelompoknya (Myers, 1994). Orang-orang yang merasa terkungkung dalam kelompok, cenderung merasa dirinya lebih baik (ingroup) daripada orang-orang yang berada di luar kelompok (outgroup) (Fisher, 1982).

Oleh karena itu, cara untuk mengatasi salah pengukuran tentang diri sendiri ini adalah memperluas cakrawala pergaulan sosial. Berdasarkan pergaulan sosial ini individu akan melihat bahwa di luar organisasinya ternyata jauh lebih banyak orang yang prestasinya mengagumkan. Bergaul dengan banyak orang yang berbeda-beda adalah mencerahkan kehidupan. Bergaul dengan banyak orang yang berbeda-beda juga akan membuka kesempatan  bagi semua orang untuk berubah.

Bagaimana realisasi perubahan perilaku dalam kelompok agar saya tidak mempersepsikan diri secara pongah? Bergaul dengan banyak orang di luar organisasi tempat saya mengabdi, telah membuka mata pada banyak kesempatan yang dapat diraih. Ketika kesempatan-kesempatan langka itu diperoleh maka saya merasa menjadi lebih kuat, sehingga berani menghadapi tekanan teman-teman seorganisasi untuk berperilaku seragam. Secara operasional, saya menjadi lebih berani untuk berbeda persepsi tentang dampak rendahnya gaji dengan perilaku tidak terpuji. Saya merasa gaji yang rendah bukan alasan pemaaf bagi munculnya perilaku tidak terpuji. Akan lebih baik bila karyawan merasa organisasi sudah tidak baik lagi, maka disarankan karyawan segera keluar saja.

Oleh karena itu apabila karyawan menginginkan organisasi membayar gaji secara lebih layak, maka karyawan terlebih dahulu membuktikan kinerjanya. Kalau memang menginginkan gaji tinggi, maka perlihatkanlah perilaku kerja yang memang benar-benar layak digaji tinggi. Apa saja perilaku yang layak diberi gaji tinggi itu? Perilaku tersebut antara lain datang ke tempat kerja tidak terlambat, mengerjakan tugas-tugas organisasi tidak melebihi batas waktu bahkan kalau mungkin lebih cepat dari tenggat waktu yang ditentukan pemimpin, aktif membantu teman menyelesaikan tugas meskipun hal itu bukan diskripsi kerjanya, melayani konsumen dengan sepenuh hati, tidak korupsi (uang, waktu, dan barang), dan tentu masih sangat banyak perilaku terpuji lainnya. Mari berubah sekarang juga. Mengapa tidak?


Daftar pustaka:

Fisher, R. J. (1982). Social Psychology: An Applied Approach. New York: St. Martin’s Press.
Myers, D. G. (1994). Exploring social psychology. New York: McGraw-Hill Book, Inc.

Post a Comment

3 Comments

  1. Pripun Bu Shinta itu, kalau kerja tanpa uang ya saya tidak mau to? Terus untuk anak dan suami bagaimana? Apa mereka disuruh makan makanan sembarangan saja? Kalau saya sih kerja ya harus ada duitnya, bahkan kalau bisa duitnya yang banyak tapi kerjanya sedikit. Iya kan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bu Yayank, kerja itu ibadah to. Kalau sudah diniati dan sudah jatuh cinta pada pekerjaan itu, maka gaji sedikit rasanya berjuta-juta. Itu sih menurut resep Rene Suhardono yaitu follow your passion. Bagaimana menurut Anda, bu Yayank?

      Delete
  2. Saya suka sekali dengan presepsi dan tulisan ibu.

    Menginspirasi

    ReplyDelete

Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji