Arundati Shinta
Yogyakarta
Bahagia itu sederhana (Foto : Arie) |
Apa Bahagia Itu?
Pada umumnya banyak orang merasa hidupnya bahagia bila segala kebutuhannya terpenuhi. Hal yang menarik adalah orang-orang yang segala kebutuhannya terpenuhi ternyata justru merasa tidak bahagia hidupnya. Ia dilimpahi harta, namun ia merasa hidupnya ada yang kurang. Mengapa orang yang hidupnya berkecukupan sering tidak merasa bahagia? Orang yang berkecukupan itu seringkali ‘gila kerja’ (workaholic) dan cenderung lebih memusatkan perhatian pada uang daripada hal-hal lain yang mendatangkan kebahagiaan (Roth, 2009). Uang memang memberikan kebahagiaan, sebatas uang dapat mengentaskan seseorang dari kemiskinan. Bila terlalu berlimpah uang dan individu mengalami kesulitan dalam mengelolanya, maka uang bukan lagi sumber kebahagiaan.
Jadi apa bahagia itu? Bahagia tidak selalu sama dengan uang, namun ketiadaan uang juga akan mempersulit tercapainya hidup bahagia. Hidup bahagia adalah cara orang-orang menghabiskan usianya dengan nyaman, menyenangkan, selalu diliputi rasa puas dan cinta. Cara yang nyaman dan menyenangkan berarti individu melakukan usaha-usaha dengan bersemangat, hati rela melakukan usaha-usaha itu, dan selalu bangkit lagi melakukan usaha-usaha itu bila menemui kegagalan. Jadi cara-cara yang nyaman dan menyenangkan tidak berarti individu tidak mengalami kegagalan atau kesulitan.
Hidup bahagia tidak berarti semua keinginannya terkabul (terlaksana). Hidup bahagia adalah cara hidup yang dipenuhi pikiran-pikiran yang optimis. Optimis berarti bisa menerima hal-hal yang tidak menyenangkan dengan lapang dada. Optimis juga berarti individu selalu berusaha mencari jalan terbaik untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Semua kegagalan yang dihadapi dijawabnya dengan berbagai cara agar kegagalan itu menjadi berkurang dan kemudian ia mendapatkan kesuksesan.
Kebahagiaan juga sering dianggap sama dengan hidup berdekatan dengan orang-orang yang disayanginya. Anggapan semacam ini kurang memperhitungkan perasaan orang-orang yang menjadi target individu untuk disayangi. Salah satu orang yang menjadi target untuk disayangi adalah anak. Apakah benar orangtua menjadi bahagia bila hidup berdampingan dengan anak? Pertanyaan ini penting karena mungkin saja anak merasa terkekang hidup bersama orangtuanya. Situasi seperti itu akan memunculkan persoalan baru yaitu “Apakah orangtua merasa nyaman bila ia mengetahui bahwa ternyata anaknya merasa tersiksa hidup bersama orangtuanya?”. Bahagia seharusnya juga meliputi aspek sosial yang sifatnya saling timbal balik. Bahagia akan muncul bila orangtua dan anak sama-sama merasa senang tinggal bersama. Kesedihan dan pertengkaran akan segera muncul bila salah satu pihak merasa terpaksa harus tinggal menemani pihak lain.
Kiat-Kiat Untuk Bahagia
Apa saja yang bisa ditempuh agar bisa hidup bahagia? Setiap orang tentu akan mengupayakan berbagai cara agar hidupnya menjadi bahagia. Ada beberapa saran yang mungkin bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Saran pertama, cara yang paling sederhana untuk mendapatkan kebahagiaan adalah berpura-pura bahagia. Pura-pura bahagia ini ditunjukkan antara lain dengan selalu tersenyum. Cara berpura-pura ini akan mendorong individu untuk menyelaraskan antara tersenyum (meskipun terpaksa) dengan perasaan menjadi lebih baik (bahagia) (Myers, 1994). Mungkin hal ini agak sulit dipahami, karena orang yang bersedih sulit untuk dipaksa tersenyum. Meskipun demikian, ketika individu terpaksa berada dalam situasi yang mengharuskannya tersenyum maka paling tidak individu akan terlupa sejenak pada kesedihannya. Ia terlupa pada kesedihannya karena perilaku tersenyum harus ditujukan pada orang lain. Dengan perkataan lain, individu yang sedang bersedih itu berada dalam situasi sosial sehingga ia mendapat kesempatan untuk berbagi kesedihan dengan orang lain. Akibatnya, beban beratnya menjadi berkurang dan ia menjadi lebih bersemangat dalam menjalani hidupnya.
Saran kedua untuk mendapatkan kebahagiaan yaitu memaksa diri untuk selalu berpikir optimis. Cara untuk berpikir optimis yaitu mencari hikmah dari suatu peristiwa yang menyedihkan. Pencarian hikmah ini akan membuka mata individu bahwa semua peristiwa tentu mempunyai sisi positif dan negatif sekaligus. Arahkanlah segala daya pikir ke arah sisi positif dari suatu peristiwa. Cara berpikir yang selalu mengutamakan sisi positif ini akan menuntun individu untuk selalu merasa beruntung (Wiseman, 2003). Rasa beruntung akan mengarahkan individu untuk hidup bahagia.
Saran ketiga untuk mendapatkan kebahagiaan yaitu berteman sebanyak-banyaknya (Myers, 1994; Wiseman, 2003). Mempunyai teman yang banyak berarti individu akan mendapatkan kesempatan untuk bersosialisasi, membicarakan persoalan hidup, ikut menyumbang pemecahan masalah yang dihadapi teman, dan selalu mendapatkan informasi terbaru. Berteman akan mengurangi rasa kesepian individu, sehingga individu akan terhindar dari rasa depresi dan rasa terbuang (keterasingan) oleh masyarakat atau anggota keluarganya (Midllebrook, 1974).
Mungkin saja ada sanggahan bahwa pada jaman serba komputer ini berteman tidak harus selalu bertatap muka. Berteman dapat dilakukan melalui media sosial seperti facebook, twitter, internet, dan sebagainya. Melalui media sosial itu bahkan jumlah teman dapat dihitung dengan cepat. Apakah orang akan puas bila hanya berteman melalui media sosial tersebut? Kenyataan yang ada, orang selalu ingin bersosialisasi karena sesungguhnya manusia itu makhluk sosial. Hal ini dibuktikan oleh Richard Byrd, seorang relawan yang bersedia tinggal di kutub selatan selama berhari-hari (Midllebrook, 1974). Ia hanya ditemani oleh radio yang dapat memberi kesempatan baginya untuk berkomunikasi dengan teman dekatnya. Persediaan makanan dan obat-obatan selalu terpenuhi. Ia juga harus mengerjakan tugas di kutub selatan. Pada hari-hari pertama ia sangat sibuk sehingga ketiadaan teman tidak mengganggunya. Pada hari ke-24, ia mulai merasa kesepian dan terisolasi. Ia menjadi depresi. Percobaan itu menunjukkan bahwa berteman melalui media sosial tidak cukup bagi manusia.
Saran keempat untuk mendapatkan kebahagiaan yaitu selalu aktif dalam kegiatan di lingkungan sosialnya. Aktif dalam kegiatan sosial yaitu individu mempunyai peran yang berarti dalam lingkungan sosialnya, dan tidak hanya menjadi penggembira saja. Individu yang aktif akan dianggap berharga oleh lingkungan sosialnya, dan ia akan merasa dibutuhkan kehadirannya. Ia merasa bahwa hidupnya mempunyai makna yang penting bagi orang lain. Dalam kegiatan sosial tersebut, individu mempunyai peran tertentu. Contoh peran antara lain menjadi ketua RT atau RW, ketua PKK, bendahara, sekretaris, dan sebagainya. Semua peran itu mempunyai tanggung jawab. Masyarakat tentu akan berusaha bertemu dengan individu yang mempunyai peran tertentu untuk mengurus keperluannya. Apalagi kalau aktivitas dalam lingkungan sosial itu bersifat altruis atau peduli pada kesejahteraan orang lain tanpa pamrih. Kewajiban untuk melayani masyarakat ini akan mendorong munculnya rasa bahagia dan gairah dalam menjalani kehidupan (Myers, 1994; Soetrasno, 2010).
Saran kelima untuk mendapatkan kebahagiaan yaitu selalu berusaha untuk aktif dalam arti kognitif. Semakin tua seseorang, semakin ia cenderung untuk pasif sehaingga kemampuan sel-sel otaknya menjadi berkurang. Istilah sehari-harinya adalah individu menjadi semakin pikun, dan selalu pelupa. Untuk mengatasinya, maka individu sangat disarankan untuk selalu aktif berpikir. Contoh kegiatan untuk mengasah kemampuan kognitif yaitu mengisi teka-teki silang, berdiskusi, dan mengajar. Kegiatan mengisi teka-teki silang akan memacu individu untuk selalu tanggap dengan informasi baru dan mengingat-ingat konsep yang pernah diperolehnya. Untuk memacu semangat mengisi teka-teki silang, pada banyak kota kini telah berdiri organisasi (paguyuban) penggemar teka-teki silang. Selanjutnya kegiatan mengajar dan berdiskusi merupakan kegiatan untuk mengurangi kepikunan karena kegiatan tersebut pada hakekatnya adalah memberikan pengetahuan pada orang lain. Pengertian mengajar tidak selalu berarti kegiatan formal di kelas, namun juga bisa berarti berbagi ilmu pengetahuan dengan tetangga. Orang-orang yang kemampuan kognitifnya selalu terasah bahkan sampai usia lanjut, akan menarik banyak orang. Ia menjadi tempat bertanya bagi lingkungan sosialnya. Ibaratnya ia menjadi ‘kamus berjalan’. Orang-orang semacam ini cenderung untuk menjadi bahagia.
Saran keenam untuk mendapatkan kebahagiaan yaitu selalu berusaha untuk aktif secara fisik. Cara yang paling mudah yaitu bersenam atau olah raga sesuai dengan kemampuan fisik. Berolah raga ini penting untuk menjaga agar tubuh selalu bugar. Olah raga juga akan membuat tidur kita menjadi nyenyak, sehingga kita menjadi lebih siap dalam mengisi kehidupan. Hal-hal lain yang terkait dengan saran olah raga adalah menata dan menjaga makanan yang dikonsumsi, tidak merokok, dan selalu mengecek kondisi tubuh (Roth, 2009). Cobalah bayangkan apabila kita dilimpahi kekayaan dan dikelilingi oleh orang-orang terkasih, namun tubuh selalu dikerubuti oleh berbagai penyakit maka kita akan menjadi orang yang sangat tidak menarik. Orang yang kaya dengan penyakit sering merepotkan dan menjengkelkan lingkungan sosialnya. Untuk memacu semangat berolah raga, kini pada banyak kota telah berdiri berbagai komunitas unik seperti komunitas pencinta sepeda kuno, pecinta olah raga, dan sebagainya.
Saran ketujuh untuk mendapatkan kebahagiaan adalah tidak membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Sangat dianjurkan untuk mensyukuri segala sesuatu yang sudah diperoleh. Adanya perasaan lebih rendah daripada orang lain tentu sangat menyiksa. Agar mampu bersyukur dan tidak membanding-bandingkan dengan orang lain, kita dapat melakukan sesuatu yang berbeda dengan lingkungan. Kegiatan tersebut tidak ‘asal beda’ namun suatu kegiatan yang dapat menginspirasi orang lain (Lathief, 2012). Hasil karya yang berbeda dan sekaligus bermanfaat bagi lingkungan sosial akan membuat kita menjadi orang yang mampu menikmati hidup. Tidak jarang kegiatan yang berbeda ini mendatangkan uang, karena hasilnya memang bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini seperti kata pepatah ‘kerjakan segala sesuatu yang kita sukai dan cintai segala sesuatu yang kita kerjakan, maka uang akan mengikutinya’.
Sebagai penutup tulisan ini, sekali lagi perlu ditekankan bahwa hidup harus dinikmati. Sungguh sayang bila hidup yang hanya mampir ngombe (sangat sebentar) ini diisi dengan kesedihan yang tidak berujung. Kebahagiaan harus diciptakan dan diperjuangkan terus menerus bukan otomatis tersedia seperti halnya barang-barang yang dijual di toko.
Daftar Pustaka
Lathief, I. (2012). Normal is boring. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Middlebrook, P. N. (1974). Social psychology and modern life. New York: Alfred A. Knopf.
Myers, D. G. (1994). Exploring social psychology. New York: McGraw-Hill, Inc.
Roth, J. D. (2009). The psychology of happiness: 13 steps to a better life. Retrieved on August 12, 2012, from http://www.getrichslowly.org/blog/2008/08/25/the-psychology-of-happiness-13-steps-to-a-better-life/
Soetrasno, S. A. (2010). Empat belas masalah lansia. Retrieved on May 3, 2012, from http://lansiasehat.com/empat-belas-masalah-lansia.html).
Wiseman, R. (2003). The luck factor: The four essential principles. New York: Miramax Books hyperion.
Catatan: Tulisan ini sudah dipublikasikan di Majalah Siswa Sembada, Edisi 3/2012, halaman 29-31. Majalah ini diterbitkan oleh Bidang Pemuda & Olah Raga, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kbupaten Sleman Yogyakarta. Versi pertama tulisan ini diterbitkan secara on line dengan judul Hidup Bahagia, pada tanggal 24 Oktober 2012 di http://lintaskampusup45.blogspot.com/2012/10/hidup-bahagia.html
1 Comments
Hallo bu Shinta dan redaktur Kup45iana, kok judulnya belum selesai ya? Naggung tuh.
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji