Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

PEMBAJAKAN TENAGA KERJA : Bekerja Hanya Untuk Uang Semata?


Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45’
Yogyakarta

Foto : Istimewa
Beberapa saat yang lalu saya bertemu dengan teman lama. Kami berdua berbicara panjang lebar, yang intinya adalah saling memperkuat kontribusi pada lembaga tempat mengabdi dengan cara berbagi ide-ide kreatif. Di tengah-tengah diskusi, teman itu memberi tawaran yang tidak terduga. Pada intinya dia ingin mengajak saya untuk bergabung dengan lembaga tempatnya mengabdi. Istilah dalam bidang manajemen adalah saya akan ‘dibajak’ (pembajakan tenaga kerja). Lembaga teman tersebut memang terkenal kokoh, eksis, peduli pada pembentukan karakter generasi muda, manajemennya bagus, dan reputasinya berwibawa di kalangan masyarakat tidak hanya di Yogyakarta tetapi juga Indonesia secara keseluruhan. Bahkan kabar terakhir lembaga teman tersebut telah berkolaborasi dengan lembaga di luar Indonesia. Nampaknya lembaga teman tadi sudah go international.
Menghadapi tawaran teman tadi saya menjadi tercenung. Mengapa saya yang ‘dilamar’ atau dipilih? Apakah tidak ada tenaga kerja lain yang lebih hebat dari saya? Apakah lembaga itu begitu putus asanya sehingga ingin membajak saya? Ia menjawab dengan tenang, bahwa lembaganya sudah menerima banyak lamaran kerja. Para pelamar kerja itu mempunyai kualitas dan kinerja yang tingkatannya jauh di atas saya. Bahkan para pelamar itu sudah senior. Kalau demikian apa yang istimewa pada saya? Saya menduga ia ingin membajak saya hanya karena faktor teman atau faktor silau pada gelar akademik saya. Apa pun alasannya, tawaran teman itu sempat membuat saya bimbang, haruskah saya tetap mengabdi pada lembaga yang manajemennya nampak seperti salah urus ini. Kalau saya pindah tempat kerja, apa yang akan terjadi dengan generasi muda yang sekarang ini sedang saya bina dalam hal pembentukan karakternya.

Tulisan ini ditujukan pada manajemen organisasi agar ‘menjaga’ para SDM-nya tidak ‘dibajak’ atau diambil oleh organisasi lainnya. Hal ini penting karena seperti halnya prinsip dari Sam Walton, pendiri The Wal-Mart, yang ketika meninggal dunia telah menjadi orang terkaya di dunia, bahwa “people are the key” (Luthans, 1995). SDM adalah kunci dari kemajuan organisasi, bukan sekedar ‘sekrup’ dari sebuah mesin (organisasi). Dengan perkataan lain, organisasi hendaknya menjaga agar peristiwa turn over atau keluar masuknya karyawan menjadi rendah. Tingginya angka turn over menunjukkan organisasi yang tidak sehat.
Dari segi internal karyawan yang sedang berada dalam posisi akan ‘dibajak’, sebenarnya juga tidak mudah untuk berpindah lembaga kerja. Karyawan mungkin saja dalam keadaan bimbang, menimbang-nimbang tentang imbalan yang akan diperoleh pada lembaga baru dan pengorbanan yang akan diberikan ketika meninggalkan lembaga lama. Hal ini pun tidak lepas dari pemikiran saya yaitu menimbang-nimbang tentang masalah imbalan-pengorbanan.
Menghadapi kebimbangan itu, saya teringat dengan renungan Ki Ageng Suryomentaraman (Fikriono, 2012). Cobalah untuk mengeluarkan diri sehingga kita tidak merasa menjadi anggota dari lembaga yang canggih tempat teman tadi mengabdi, dan juga keluar dari lembaga tempat saya mengabdi sekarang ini. Saya pikir, tinjauannya akan lebih mudah bila menggunakan perspektif psikologi, yaitu introspeksi atau mencari motivasi internal. Dengan perkataan lain, alasan saya untuk bertahan atau mengeluarkan diri dari lembaga tempat mengabdi sekarang ini benar-benar karena alasan pribadi, bukan alasan sayang pada generasi muda yang sedang dibimbing, juga bukan karena alasan keluarga (misalnya keluarga membutuhkan uang banyak), juga bukan karena manajemen lembaga yang salah urus, bukan pula karena teman-teman satu lembaga sangat membutuhkan saya.
Inti ajaran Ki Ageng Suryomentaraman adalah mempertanyakan apa yang ingin saya dapatkan dari bekerja, untuk lembaga mana pun. Apakah benar uang, kehormatan, prestasi, persahabatan, jabatan (kedudukan), kepopuleran, atau sekedar posisi terhormat dalam masyarakat yang saya cari dari suatu lembaga? Saya merenung sangat lama, untuk menjawab pertanyaan dari Ki Ageng Suryomentaraman yang sebenarnya sederhana tetapi sulit untuk menjawabnya.
Kalau uang yang saya kejar, jelas lembaga tempat saya mengabdi tidak dapat (belum mampu) memberikan gaji yang layak. Saya pikir lembaga yang akan membajak saya pun belum tentu memberikan imbalan finansial yang tinggi, mengingat situasi perekonomian di Yogyakarta kurang menguntungkan. Kalau memang menginginkan imbalan finansial yang banyak, maka saya harus pindah jurusan dan menjadi pengusaha (misalnya pengusaha dalam bidang pendidikan). Pikiran untuk pindah jurusan pun akhirnya saya tolak karena saya merasa tidak berminat dalam bidang usaha. Bidang usaha sangat menohok kelemahan saya yaitu mudah stress, apalagi bila dikejar-kejar oleh debt collector karena belum membayar hutang pada bank.
Kalau kehormatan dan prestis (gengsi) yang saya kejar, maka saya pikir hal itu tidak sesuai untuk saya. Hal ini karena saya merasa tidak kenyang makan kehormatan apalagi gengsi. Keduanya bukan kebutuhkan pokok bagi saya. Selain itu saya sudah membuktikan bahwa saya tidak segan-segan bekerja pada level yang paling bawah seperti tukang pemungut sampah, petugas kebersihan di kampus. Bahkan sampai sekarang saya bekerja secara suka rela (voluntary) pada sebuah kelompok.
Apakah benar generasi muda yang sedang saya dampingi dalam hal pembentukan karakter adalah faktor yang menghambat saya untuk pindah lembaga? Tidak juga. Hal ini karena di mana pun tempatnya, saya tetap bisa mendampingi generasi muda. Selain itu, bukankah bisa generasi muda yang sekarang ini saya dampingi menyambangi saya di tempat lembaga yang baru? Jadi saya tidak perlu berpisah dengan generasi muda tersebut kalau saya pindah bekerja pada lembaga lain.
Sangat lama saya merenungi tentang topik pindah kerja ini. Akhirnya saya menemukan jawaban mengapa saya merasa harus tetap berada di lembaga lama. Jawabannnya adalah karena saya harus bebas terlebih dahulu dari hutang-hutang sosial yang selama ini saya terima dari lembaga lama. Menjadi sukses seperti sekarang ini ternyata bukan hanya kontribusi dari pihak saya semata, tetapi lembaga lama juga ikut berperanan. Saya tidak boleh menafikan peranan kontribusi lembaga ini yang ikut membesarkan saya. Oleh karena itu saya putuskan untuk tetap berada di lembaga lama, apa pun yang terjadi.

Daftar pustaka:

Fikriono, M. (2012). Puncak makrifat Jawa. (A. Wong, penyunt.). Jakarta: Noura Books.
Luthans, F. (1995). Organizational behavior. 7th edition. New York: McGraw-Hill, Inc.

Post a Comment

2 Comments

  1. pembajakan tenaga kerja, istilah yang sangat "menyenangkan"... saya setuju dengan pendapat tersebut, apakah bekerja hanya untuk uang semata? jawabannya adalah tidak. saya berpendapat, bekerjalah untuk hidup, karena dengan kita masih bisa hidup maka akan ada lebih banyak hal lagi yang bisa kita kerjakan, apapun itu.
    kita tidak tahu seberapa besar kapasitasnya manfaat kita hidup bagi orang banyak, namun yang pasti hal sekecil apapun itu yang kita perbuat pasti ada manfaatnya bagi orang lain...

    hidup adalah pilihan... akan seperti apa atau bagaimana hidup ini akan kita jalani, semua tergantung pada diri kita sendiri mau menentukan mana yang terbaik menurut diri kita...

    thankyou n goodluck for your choise..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Peristiwa pembajakan tenaga kerja yang melibatkan saya sebagai target, secara jujur membuat saya bangga. Ternyata saya laku juga ya, tidak hanya jago kandang. Pertanyaan selanjutnya adalah bersediakah saya dibajak? Bersedia dibajak berarti bersedia mengubah semua aspek kehidupan mulai dari A sampai Z. Itu pengalaman traumatik juga bagi saya, yang pernah menyediakan diri untuk dibajak. Selain itu risikonya terlalu besar untuk saya. So, saya putuskan untuk tidak bersedia dibajak. Terima kasih untuk respon tulisan saya. Salam sukses untuk Anda.

      Delete

Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji